The Logic of Political Survival and Failure of District Head in the Emerging Democratic Indonesia
Dipresentasikan pada 18 Maret 2015 oleh Wawan Sobari, Ph.D – Peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP); Pengajar Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
Salah satu yang khas dari demokrasi lokal di Indonesia adalah fakta bahwa seringkali pemilihan berikutnya diikuti oleh incumbent, meskipun tidak selalu dalam paket yang sama, misalnya maju kembali dalam pemilihan dengan wakil kepala daerah yang berbeda. Berdasarkan hasil survei LSI dalam pilkada di provinsi dan kabupaten/kota pada medio bulan juni 2005 s.d Desember 2006 (LSI 2007, 4), ditemukan bahwa 87 dari 230 incumbent (37,83%) tidak terpilih kembali. Lima tahun kemudian ( 2010), jumlah ini meningkat secara moderat sebanyak 44% (64 dari 146 incumbent). Hal ini tentunya menjadi bahasan yang menarik mengingat political conundrum yang berkembang dalam pilkada yaitu incumbent merupakan calon yang relatif diuntungkan karena biasanya memiliki jaringan pribadi yang kuat dan memiliki akses langsung dalam perumusan kebijakan lokal dan penganggaran daerah. Selain itu incumbent juga memiliki peluang yang lebih besar untuk berhubungan dan berkomunikasi secara intensif dengan orang-orang berpengaruh dan organisasi massa. Faktor lainnya adalah incumbent juga memiliki pengaruh untuk memobilisasi dan mengintervensi birokrasi, maupun penyelenggara pemilu. Fakta yang saling kontradiktif ini tentunya memunculkan beberapa pertanyaan mendasar: Mengapa incumbent yang notabene memiliki akses langsung ke sumber daya pemerintah daerah dan kontrol atas birokrasi, tidak berhasil mengamankan pos mereka dalam pilkada? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terpilih tidaknya (kembali) incumbent dalam pilkada?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dilakukan studi kasus pada empat kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada di Jawa Timur yaitu Kab. Blitar (2010), Kab. Trenggalek (2010), Kota Madiun (2008), dan Kota Probolinggo (2008). Pada umumnya, dalam gaya kepemimpinannya para incumbent mengembangkan kebijakan-kebijakan populis ditunjang dengan aktivitas-aktivitas popular, mengelola dan meminimalkan risiko-risiko persaingan politik di tingkatan aktor informal, dan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang langsung dapat dilihat kehadirannya oleh masyarakat dalam jangka pendek (tangible). Strategi populisme dipilih karena dapat memberikan manfaat langsung dan nyata, misalnya semacam layanan kesehatan dan pendidikan murah atau gratis, pembangunan infrastruktur jalan, santunan kematian, bahan makanan murah, kebijakan yang friendly pada pedagang kaki lima dan abang becak, dan seterusnya. Untuk membiayai kebijakan populis tersebut, biasanya pemerintah daerah di bawah kepemimpinannya mengalokasikan anggaran yang lebih tinggi di bidang kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan umum. Hal ini diperkuat dengan aktivitas populis seperti yang lagi tren seperti blusukan dan takziah. Blusukan dan takziah merupakan strategi politik yang ditujukan agar incumbent memasarkan dirinya secara setara kepada masyarakat (egalitarian marketing), artinya incumbent memposisikan dirinya sebagai orang biasa (egaliter) untuk mendapatkan respek positif dari masyarakat. Respek dari masyarakat ini penting di samping untuk memperkuat citra diri dan pemerintahan incumbent, juga dapat dijadikan benteng politik incumbent dari serangan atau tekanan politik rival.
Selain populisme, faktor penting lainnya yang mempengaruhi incumbent dalam pemilihan adalah sejauh mana incumbent dapat mengelola dan meminimalkan risiko persaingan politik di antara rival-rivalnya (minimising political rivalry risk) terutama di tingkatan aktor informal. Aktor-aktor informal yang dimaksudkan antara lain pengusaha, birokrat, legislator lokal, LSM, dan partai politik. Pengusaha umumnya merupakan aktor yang mendukung proyek-proyek filantropis incumbent, baik dalam hal proyek besar pembangunan fisik maupun sosial untuk meningkatkan popularisme incumbent. Mereka adalah kontraktor lokal yang melaksanakan proyek fisik pemerintah daerah, seperti infrastruktur dan bangunan yang didanai oleh pemerintah daerah. Birokrat sudah jamak diketahui menjadi bagian dari kesuksesan incumbent dalam pilkada. Kontrol atas birokrat sangat penting bagi incumbent untuk meminimalkan risiko persaingan politik. Beberapa birokrat senior yang loyal menjalankan fungsi ‘think tank’, sedangkan beberapa birokrat yang cerdas mendesain beberapa program partisipatif, mengundang keterlibatan orang-orang dan menghubungkan incumbent secara langsung dengan warga sekitar.
Legislator penting untuk mengamankan kebijakan incumbent di tingkatan lokal. Dukungan parlemen akan memantapkan posisi kepala daerah dalam menjalankan program-program politiknya. LSM juga vital dalam hal mereka merupakan salah satu aktor yang dapat mempengaruhi elektabilitas incumbent dalam pemilihan baik apakah itu menguatkan atau melemahkan incumbent. Terakhir adalah dukungan dari partai politik yang solid kepada incumbent untuk menghadapi pilkada. Pada prinsipnya hubungan baik yang dilakukan oleh incumbent berdampak pada risiko persaingan politik yang rendah, sebaliknya hubungan yang buruk dapat berdampak pada risiko persaingan politik yang tinggi bagi incumbent.
Dari pembahasan tersebut di atas ditemukan bahwa populisme sebagai strategi yang menekankan kemenangan dengan membuat kebijakan dan kegiatan popular, bukan kebijakan efektif atau relevan yang memiliki implikasi jangka menengah atau panjang cenderung menjadi strategi politik yang filantropis. Meski demikian, populisme tidak menjamin masyarakat untuk memenangkan incumbent, artinya populisme bukanlah faktor utama yang determinan. Populisme perlu dikuatkan dengan kebijakan-kebijakan yang nyata dan mengesankan (tangible), misalnya pembangunan taman kota, proyek besar infrastruktur seperti fly over dan proyek konstruksi lainnya. Hal ini lebih dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam pilkada dibandingkan kebijakan populis lainnya. Tindakan penguasa dalam mengelola dukungan dan oposisi dari pelaku formal dan informal untuk meminimalkan persaingan politik cenderung mendorong pada sistem demokrasi otokratis dimana sejumlah kecil elit mengkontrol pemerintahan dan dengan demikian memiliki kontrol yang berpengaruh atas proses pemilihan dalam suatu negara.
Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pemimpin yang terpilih secara demokratis berhasil bertahan dengan memanipulasi kinerja mereka selama masa jabatan untuk memperoleh kredit dari orang banyak. Mereka membuat program popular dan mengesankan yang memiliki dampak jangka pendek, meskipun berkontribusi rendah dalam hal memajukan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Sebaliknya, pemimpin yang bagus dan kontributif pada kemajuan daerah secara makro justru diabaikan dalam pemilihan. Hal ini dimungkinkan karena permainan politik dan insentif ekonomi antara pemimpin, aktor informal, dan birokrat partisan turut menentukan terpilihnya kembali incumbent. Mereka yang terpilih kembali adalah yang mampu mengelola dan meminimalkan persaingan politik dan membuat kebijakan yang nyata dan mengesankan, dibandingkan tindakan-tindakan filantropis.