Pemberlakuan Peraturan: Sejak Ditetapkan atau Diundangkan?

oleh : Octian Anugeraha
(Kepala Sub Bagian Hukum KPU Kota Surabaya)
Hupmas, SURABAYA – Masih ingat dengan “perebutan kewenangan” antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di awal semester tahun ini? Siapa sebenarnya yang berwenang mengesahkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait Pencalonan Legislatif?
Bermula dari ketentuan boleh tidaknya mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu tahun 2019 mendatang.
KPU selaku penyelenggara pemilu yang berwenang menyusun ketentuan teknis kepemiluan, bersikukuh untuk memasukkan norma terkait mantan narapidana kasus tertentu tidak dapat mendaftar sebagai caleg. Sebaliknya Kemenkumham selaku pihak yang berwenang mengumumkan peraturan melalui berita negara, tidak berkenan mengundangkan peraturan tersebut, karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu yang lebih tinggi tingkatannya.
Masing-Masing Pihak Punya Alasan yang Sama-Sama Berdasar.
Kemenkumham berpegang pada ketentuan pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa tahapan suatu peraturan terdiri dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Pun salah satu ahli perundang-undangan, berpendapat bahwa di negara hukum, seperti Indonesia, berlaku fiksi hukum (asas yang menganggap semua orang tahu hukum). Mekanisme pengundangan dalam berita negara menjadi sarana pengumuman supaya suatu peraturan dapat diketahui oleh masyarakat. Jadi, peraturan perundang-undangan yang tidak diundangkan dianggap tidak pernah berlaku dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Bertolak belakang dengan pemikiran KPU, yang menyatakan bahwa pengundangan suatu peraturan hanya proses administrasi agar dapat dicatatkan dalam berita negara. Masyarakat dapat mengetahui suatu peraturan melalui publikasi di laman lembaga pembuat peraturan, pun nomor peraturan serta penandatanganan dilakukan oleh pembuat peraturan. Dalam hal ini pembuat Peraturan KPU adalah KPU, sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan itu berlaku sejak ditetapkan oleh sang pembuat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Sigit Pamungkas, dosen salah satu perguruan tinggi negeri sekaligus Anggota KPU RI periode 2012-2017, yang merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu berlaku sejak ditetapkan, bukan sejak diundangkan. Prinsipnya, peraturan berlaku sejak ditetapkan, sedangkan pengundangan adalah proses lain yang tidak terkait dengan pemberlakuan peraturan oleh KPU.
Ada Titik Temu.
Syukurlah, tepat 1 hari sebelum masa pendaftaran caleg dimulai, KPU dan Kemenkumham berhasil duduk bersama untuk menemukan jalan tengah dari 2 pemikiran yang bertolak belakang itu. Pakta integritas yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik dipilih sebagai solusi.
Jalan menuju titik temu itu cukup berliku. Bermula dari keyakinan Kemenkumham bahwa pakta integritas adalah jalan keluar yang tepat dan perlu dimasukkan menjadi bagian dari PKPU Pencalonan, sekaligus sebagai pengganti 3 larangan nyaleg (mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi mencalonkan diri) yang dihapus.
Selanjutnya KPU tidak mengiyakan begitu saja, penyelenggara pemilu itu meminta waktu untuk membahas usulan Kemenkumham dalam rapat pleno internal. Dalam rapat yang berlangsung sampai dini hari itu, akhirnya menyetujui adanya pakta integritas. Frase 3 larangan nyaleg dimasukkan dalam ketentuan umum di pasal 4 ayat (3), juga menjadikan formulir pakta integritas sebagai bagian dari dokumen persyaratan yang harus diserahkan oleh pimpinan partai politik ketika mendaftarkan caleg.
Esok harinya, KPU mengirimkan kembali naskah PKPU hasil sinkronisasi ke Kemenkumham untuk diundangkan. Kemenkumham masih berkeberatan, karena menganggap bahwa 3 larangan nyaleg itu tidak perlu tertulis secara eksplisit dalam redaksional PKPU, tapi cukup disebutkan secara umum bahwa “sesuai dengan pakta integritas” kemudian frase 3 larangan nyaleg dijabarkan dalam lampiran formulir pakta integritas. Meski pada akhirnya KPU tetap bersikukuh bahwa pelarangan itu harus masuk dalam batang tubuh PKPU, tidak hanya di lampiran.
Sekarang dan Masa Depan.
Mungkin, adu pendapat perihal siapa yang berwenang memberlakukan regulasi terkait pelarangan nyaleg ini bisa diakhiri. Terlebih pada 13 September 2018 yang lalu, Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan, bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg adalah bertentangan dengan UU Pemilu.
Tapi sebenarnya ruang diskusi seperti apa wakil rakyat yang layak terpilih justru baru dimulai. Sejak 20 September kemarin ketika Daftar Calon Tetap (DCT) anggota legislatif telah ditetapkan, bisa dipastikan bukan lagi KPU, Kemenkumham, atau MA yang berwenang menentukan, tapi rakyatlah yang punya kewenangan menentukan wakilnya selama 5 tahun ke depan. 17 April mendatang, rakyat punya kuasa penuh untuk memilih satu dari ratusan caleg yang ada di Surat Suara. (Oct)