KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA SURABAYA

,

Menu
  • Profil
    • Profil Anggota KPU
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Tugas dan Wewenang
    • Close
  • Pemilu
    • Pemilu
      • Sejarah Pemilu
      • Kampanye
      • Daerah Pemilihan
    • Regulasi
      • Undang Undang
      • Peraturan KPU
      • Keputusan KPU
      • Keputusan KPU Surabaya
      • Surat Edaran
    • Data Pemilu
      • Pemilu Legislatif
      • Pemilu Kepala Daerah
      • Pemilu Presiden
      • Surabaya Dalam Angka
    • Close
  • Konten
    • Berita
    • Artikel
    • Diskusi Reboan
    • Majalah HALOKPU
    • Program dan Kegiatan
    • Pengadaan Barang & Jasa
    • Agenda Even
    • Laporan Kegiatan
    • Close
  • Informasi Publik
    • SOP Pelayanan Informasi
    • Tabulasi Pelayanan Informasi
    • Formulir PPID
    • Daftar Informasi Publik
    • Pengumuman
    • Press Release
    • Close
  • Kontak
  • Pendaftaran Pemantau

Pasangan Calon Perseorangan: Alternatif Pilihan?

Terbit Tanggal 6 Desember 2017 17:49

oleh : Octian Anugeraha

(Kepala Sub Bagian Hukum KPU Kota Surabaya)

“Setiap pejuang biIMG_0338sa kalah dan terus-menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah.”

Adalah sebuah kutipan dari tulisan Pramoedya Ananta Toer (Lembaran Kebudayaan “Lentera” surat kabar Bintang Timur 17 November 1963) yang (mungkin bisa) menjadi penyulut semangat beberapa orang (untuk memberanikan diri) maju sebagai calon pemimpin suatu daerah. Jika rasa tidak takut maju itu dimiliki oleh sepasang orang saja (yang memenuhi syarat dan persyaratan) di tiap daerah, maka  minimnya pilihan kepala daerah pada lembaran surat suara tidak akan terjadi. Karena selain dari (gabungan) partai politik, bakal pasangan calon juga dapat didaftarkan dari unsur perseorangan dengan didukung oleh sejumlah penduduk yang terdaftar dalam Data Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu atau Pemilihan Terakhir.

 

Perbandingan Pasangan Calon dari Partai Politik dan Perseorangan

Jika menoleh ke belakang pada pemilihan serentak tahun 2017, jumlah pendaftar adalah 337 pasangan calon, terdiri atas 247 (73 persen) dari partai politik dan 90 (27 persen) dari perseorangan. [1] Meskipun rentang selisihnya cukup jauh, tapi pendaftar melalui jalur perseorangan pada pemilihan tahun 2017 meningkat dibanding tahun 2015.

Jumlah pendaftar dari jalur perseorangan pada pemilihan tahun 2015 adalah 167 pasangan calon yang tersebar di 94 daerah (dari 269 daerah yang menggelar pemilihan), sedangkan pendaftar pada tahun 2017 berjumlah 116 pasangan calon yang tersebar di 57 daerah (dari 101 daerah). Yang artinya, angka pendaftar jalur perseorangan pada pemilihan tahun 2017 naik 0,5% dibanding dua tahun sebelumnya.[2]

Pada tahun 2017, Provinsi Banten menjadi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan pendaftar jalur perseorangan terbanyak, yaitu 4 pasangan calon. Berbeda dengan pemilihan pada beberapa provinsi lainnya, seperti Gorontalo yang hanya ada 1 pendaftar dari jalur perseorangan, serta Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat yang sama sekali tidak ada pendaftar. Bahkan Pemilihan di DKI Jakarta yang ramai dengan hiruk pikuknya hanya menghantarkan satu pendaftar jalur perseorangan yang sudah dipastikan gagal memenuhi syarat dukungan.[3]

Variasi Syarat Dukungan

Pada pemilihan serentak pertama (2015) yang menjadi syarat dukungan adalah prosentase jumlah penduduk, bukan Data Pemilih Tetap (DPT). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua Undang-Undang tentang Pemilihan ini telah menghilangkan ketentuan syarat dukungan berbasis jumlah penduduk, menjadi berbasis DPT terakhir yang menjadi pijakan hukum pada pemilihan tahun 2017.[4]

Prosentase syarat minimal dukungan untuk pasangan calon perseorangan pun bervariasi berdasarkan jumlah penduduk yang terdaftar dalam DPT pada Pemilu atau Pemilihan Terakhir, juga harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota (Pilgub) atau kecamatan (Pilbub/Pilwali)

Sebelum pemilihan serentak tahun 2015 dimulai, ketentuan terkait prosentase dan bentuk dukungan itu sudah dua kali berubah. Semula, melalui UU 1 Nomor 1 Tahun 2015, syarat dukungan paling sedikit adalah 6,5% dari jumlah penduduk untuk provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa, 5% jika lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000, 4% jika lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000, atau 3% jika lebih dari 12.000.000. Sedangkan di kabupaten/kota, dukungan minimal adalah 6,5% untuk jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, 5% jika lebih dari 250.000 sampai dengan 500.000, 4% jika lebih dari 500.000 sampai dengan 1.000.000, atau 3% jika lebih dari 1.000.000.

Kemudian prosentase syarat minimal dukungan itu diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2015, menjadi paling sedikit 10% dari jumlah penduduk untuk provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa, 8,5% jika lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000, 7,5% jika lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000, atau 6,5% jika lebih dari 12.000.000. Sedangkan di kabupaten/kota, dukungan paling sedikit adalah 10% dari jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, 8,5% jika lebih dari 250.000 sampai dengan 500.000, 7,5% jika lebih dari 500.000 sampai dengan 1.000.000, atau 6,5% jika lebih dari 1.000.000. Ketentuan ini menjadi dasar hukum pelaksanaan pemilihan serentak jilid pertama.

Menjelang pemilihan serentak kedua (2017) dimulai, ada perubahan obyek bentuk dukungan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016, yaitu syarat dukungan adalah jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam DPT pada pemilu atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir, dengan ketentuan prosentase yang sama dengan regulasi sebelumnya (UU Nomor 8 Tahun 2016).

Ketentuan itu (sebenarnya) menjadi lebih longgar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 melalui Putusan Nomor 54/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa pendukung tak harus terdaftar dalam DPT Pemilu/Pemilihan terakhir, sehingga penduduk yang telah memiliki hak pilih (termasuk orang yang saat pemungutan suara akan berusia 17 tahun) bisa memberi dukungan ke calon perseorangan.[5] Pada pilkada serentak jilid ketiga (2018), KPU sudah mengadopsi putusan MK tersebut melalui ketentuan pasal 11 ayat (3) pada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017.

Teknis Dukungan

Bentuk dukungan hanya bisa diberikan kepada 1 pasangan calon perseorangan, oleh pemilih yang berdomisili di daerah pemilihan tersebut serta tercantum dalam DPT terakhir dan/atau Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DPPP), dibuktikan dengan salinan KTP elektronik atau surat keterangan dari Dispendukcapil paling singkat 1 tahun.

Selain salinan KTP elektronik atau surat keterangan (yang dikelompokkan berdasarkan wilayah kelurahan), pasangan calon perseorangan harus menyerahkan dokumen lain, seperti rekapitulasi jumlah dukungan dan surat pernyataan. Komposisi salinan identitas pendukung juga harus berurutan sebagaimana data dukungan.

Dokumen dukungan yang diserahkan berjumlah 3 rangkap, yaitu 1 rangkap asli yang berfungsi sebagai alat verifikasi jumlah minimal dukungan, untuk selanjutnya diserahkan kepada PPS dan dilakukan verifikasi faktual, serta 2 rangkap salinan lainnya masing-masing untuk arsip KPU Provinsi/Kabupaten/Kota (sebagai penyelenggara pemilihan) dan arsip bakal pasangan calon (setelah memperoleh pengesahan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota).

Penutup

Akhir November kemarin, tahapan penyerahan syarat dukungan telah usai (26 November 2017 untuk Pilgub, 29 November 2017 untuk Pilwali dan Pilbup). Faktanya “hanya” ada 177 pasangan calon yang mendaftar di 96 daerah (dari 171 daerah yang menggelar pemilihan), dan jumlah yang tidak banyak itu semakin berkurang setelah pada akhirnya hanya 133 berkas yang dianggap memenuhi persyaratan untuk diteliti administrasinya. [6] Entah karena syarat minimal dukungan yang terlalu tinggi, atau kurang berani mendaftar sebagai peserta pemilihan? Yang pasti, satu dari dua kalimat tanya itu bisa menjadi alternatif (pilihan) jawaban.

*Disampaikan dalam Forum Diskusi Reboan oleh Octian Anugeraha pada September 2017 (materi powerpoint dapat diunduh di sini)

[1] e-book Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 dan 2017, hal 213, diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum

[2] [3] http://arsip.rumahpemilu.org/in/read/11767/Perbandingan-Pendaftar-Perseorangan-Pilkada-2015-dan-2017.html

[4] http://kpu-surabayakota.go.id/menyempurnakan-tahapan-pemilihan-bagian-i/

[5] harian Kompas, 3 Juli 2017, halaman 2, judul “KPU Minta Persiapan Pilkada Dipercepat”.

[6] harian Kompas, 4 Desember 2017, halaman 2, judul “ Kilas Politik & Hukum”.

Kalender Even


  • No Events

Tulisan Terbaru


  • PPKM, KPU Surabaya Terapkan Kebijakan WFH
  • KPU Surabaya Gelar Rakor Bersama Pimpinan Media
  • KPU Serahkan Sertifikat dan Hadiah Kepada Pemenang Lomba Fotografi Jurnalistik Pilwali Surabaya 2020
  • KPU Surabaya Beri Ucapan Selamat Kepada Pemenang Lomba Fotografi
  • Pengumuman Tentang Hasil Audit Laporan Dana Kampanye Peserta Pilwali Surabaya
  • Pengumuman Pemenang Lomba Fotografi Jurnalistik Pilwali Surabaya Tahun 2020
  • Antisipasi Potensi Sengketa, KPU Surabaya Lakukan Rakor Bersama PPK
  • Penjurian Lomba Fotografi KPU Kota Surabaya
  • KPU Surabaya Lepas Dua Mahasiswi Magang Dari Unair
  • Divisi Sosdiklih KPU Surabaya Sabet dua Penghargaan Dari KPU Jatim

RSS KPU RI


  • Sebuah galat telah terjadi, yang kemungkinan berarti umpan tersebut sedang anjlok. Coba lagi nanti.
KPU KOTA SURABAYA
Jl. Adityawarman 87
Surabaya, Jawa Timur
Indonesia 60242


☏ 031 - 5685973 | faximile
☎ 031 - 5681028
✉ [email protected]
  • Sitemap
  • Sitestats
  • Kontak
  • Webmaster
  • Faq
Copyright © 2019 KPU Kota Surabaya