Merancang Pembiayaan Pilkada yang Efektif dan Efisien

Hupmas, SURABAYA – Selasa (07/11/2017), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyelenggarakan Diskusi Publik tentang Model Pembiayaan Pilkada yang Efektif dan Efisien. Diskusi yang dibuka sejak tanggal 06 November 2017 menganalisis regulasi untuk melihat dampak penerapan kebijakan terhadap peningkatan biaya pilkada, menganalisis struktur untuk melihat tarik ulur Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dan interaksi kelembagaan sebagai dampak kebijakan pendanaan pilkada yang berasal dari APBD, dan yang terakhir adalah menganalisis kultur untuk melihat tingkat partisipasi dan kesiapan daerah berdemokrasi.
Di dalam diskusi publik ini, Peneliti memaparkan bahwa 5 (lima) besar penggunaan anggaran Pilkada dengan mengambil contoh Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung. Pada Provinsi Jawa Barat, anggaran pilkada paling banyak dianggarkan untuk (1) honorarium badan ad hoc sebanyak 42%, (2) kampanye sebanyak 9%, (3) sosialisasi sebanyak 8%, (4) pengadaan/distribusi logistik sebanyak 6%, dan (5) pembentukan badan adhoc sebanyak 5%. Sedangkan untuk Kota Bandung, anggaran terbesar ditujukan untuk (a) pengadaan dan pendistribusian logistik, (b) honorarium, (c) sosialisasi/penyuluhan/bimbinganteknis, (d) advokasi hukum, dan (e)angkutan distribusi logistik.
Bukan hanya itu saja, penelitian ini pun memberikan beberapa rekomendasi atas model pembiayaan pilkada yang efektif dan efisien. Beberapa rekomendasi tersebut, seperti (1) konsistensi peraturan dan harmonisasi regulasi yang melibatkan kemendagri, kemenkeu dan KPU, dan (2) perbaikan aspek teknis penyebab pemborosan anggaran.
Setelah pemaparan, hasil penelitian ini pun kemudian ditanggapi oleh 2 (dua) penanggap dari Kemendagri, dan masing – masing 1 (satu) orang dari akademisi, KPU dan Kementerian PAN. Mewakili KPU, Pramono U. Tanthowi mengungkapkan kalau selama ini penyerentakkan hanya menyamakan waktu pilkada bagi daerah – daerah yang berdekatan waktunya.
“Model keserentakkan seperti ini tidak banyak berimplikasi pada efisiensi anggaran,” ujar Pria yang pernah menjadi Ketua Bawaslu Banten ini.
Pihak dari Dirjen Otonomi Daerah juga memaparkan bagaimana anggaran digunakan oleh pemerintah daerah. Beliau menjelaskan bahwa dari 100% anggaran yang ada maka kurang lebih 56%-nya digunakan sebagai anggaran rutin. Dari sisanya tersebut maka 20% digunakan untuk pendidikan, 10% untuk kesehatan, 10% untuk alokasi dana desa, dan 10% untuk administrasi wajib umum.
Purnomo S. Pringgodigdo, Divisi Hukum KPU Kota Surabaya yang menghadiri kegiatan ini mengungkapkan apresiasinya terhadap penelitian yang dilakukan oleh pihak Kemendagri. “Dengan mengikuti kegiatan ini, kami mendapatkan informasi tentang bagaimana perspektif pihak di luar penyelenggara khususnya dalam hal pembiayaannya,” ujar Komisioner yang paling muda di KPU Kota Surabaya ini. (psp)