KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA SURABAYA

,

Menu
  • Profil
    • Profil Anggota KPU
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Tugas dan Wewenang
    • Close
  • Pemilu
    • Pemilu
      • Sejarah Pemilu
      • Kampanye
      • Daerah Pemilihan
    • Regulasi
      • Undang Undang
      • Peraturan KPU
      • Keputusan KPU
      • Keputusan KPU Surabaya
      • Surat Edaran
    • Data Pemilu
      • Pemilu Legislatif
      • Pemilu Kepala Daerah
      • Pemilu Presiden
      • Surabaya Dalam Angka
    • Close
  • Konten
    • Berita
    • Artikel
    • Diskusi Reboan
    • Majalah HALOKPU
    • Program dan Kegiatan
    • Pengadaan Barang & Jasa
    • Agenda Even
    • Laporan Kegiatan
    • Close
  • Informasi Publik
    • SOP Pelayanan Informasi
    • Tabulasi Pelayanan Informasi
    • Formulir PPID
    • Daftar Informasi Publik
    • Pengumuman
    • Press Release
    • Close
  • Kontak
  • Pendaftaran Pemantau

MENENGOK PERANAN PEREMPUAN

Terbit Tanggal 15 September 2016 16:33

Oleh: Nurul Amalia

Komisioner KPU Surabaya Divisi Teknis

bu nurulUndang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1)  berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.  Artinya konstitusi mengakui adanya kesamaan hak-hak politik warga negara, sehingga setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, jumlah laki-laki yang menduduki jabatan-jabatan publik baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif, lebih dominan di banding perempuan, meski secara statistik jumlah laki-laki dan perempuan hampir seimbang  Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kedudukan dan kesempatan yang sama bagi warga negara , ternyata tidak dengan serta merta dapat dinikmati oleh perempuan.

Hasil survei BPS dari tahun ke tahun menunjukkan jumlah penduduk miskin, rendah pendidikan, rentan kesehatan dan kecil pendapatan, sebagian besar dialami perempuan. Ini berarti perempuan selalu pada posisi terpinggirkan, baik dalam jabatan-jabatan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telusuri, maka penyebab perempuan terpinggirkan dalam kehidupan sosial ekonomi sehari-hari akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada peningkatan kualitas hidup perempuan, karena tidak ada perempuan yang terlibat dalam pengambil kebijakan di legislatif maupun eksekutif.

Perempuan mengalami hambatan-hambatan untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Hambatan tersebut juga dipengaruhi dengan adanya perbedaan pandangan (diskriminasi) terhadap  peran , fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan di berbagai tingkatan ,mulai dari keluarga (rumah tangga), budaya (tradisi), tempat kerja, sampai negara.  Sebagai contoh: di ranah keluarga, perempuan tidak boleh bekerja penuh waktu setelah menikah, laki-laki lepas dari tanggung jawab mengurus anak/ menjaga kebersihan rumah. Di ranah Budaya (tradisi), praktek perkawinan usia dini dengan alasan pelestarian budaya. Di tempat kerja, penolakan perempuan dalam proses rekrutmen pekerjaan tertentu, adanya sistem penggajian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.  Di ranah negara, perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut urusan publik.

Jika di analogikan dengan sebuah pohon, maka hambatan yang dialami perempuan dapat dijumpai mulai dari akar, batang, dahan sampai ranting sebuah pohon. Hambatan yang ada pada akar adalah:  nilai / tradisi yang menghambat atau merugikan peran atau posisi perempuan. Hambatan pada batang adalah: kondisi sosial, ekonomi dan politik yang merugikan peran atau posisi perempuan. Hambatan pada dahan adalah: pelaku/ peran masyarakat yang berpotensi menghambat peran atau posisi perempuan. Hambatan pada ranting adalah: kondisi diri perempuan yang menghambat peran atau posisi perempuan. Sehingga bisa dikatakan bahwa hambatan yang dialami perempuan itu sesungguhnya merupakan hambatan yang bersifat struktural. Agar pohon hambatan itu tidak tumbuh dan berkembang menjadi hambatan, maka akar pohon hambatan itu harus di selesaikan terlebih dahulu, yakni bagaimana memahamkan  warga negara terhadap nilai/ tradisi yang ada agar tidak lagi menjadi penghambat atau merugikan peran atau posisi perempuan. Ini bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan waktu , tenaga, pikiran serta strategi untuk mewujudkannya.

Kondisi perempuan yang belum sepenuhnya mempunyai peran  dan kedudukan yang setara dengan laki-laki meski memiliki hak yang sama inilah yang mengilhami diberlakukannya  affirmative action, dan kebijakan ini di jamin dalam amandemen ke 2 UUD 1945 pasal  27 H ayat (2)  yang berbunyi sbb: ‘Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan’. Affirmative action merupakan  strategi untuk menyetarakan  kedudukan perempuan terhadap laki-laki.

Perkembangan kebijakan afirmasi (affirmative action)

Di Indonesia, sesungguhnya kebijakan memberikan kesempatan lebih besar kepada perempuan untuk tampil di arena publik sudah di mulai sejak lama, meskipun kebijakan tersebut diberikan secara bertahap. Adanya UU  68/ 1958  tentang Persetujuan Konpensi Hak-hak Politik Kaum Wanita menjadikan momen awal pengakuan terhadap hak perempuan untuk dipilih dan memilih dalam pemilu. Selanjutnya terbit UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Namun dalam perjalanannya selama puluhan tahun, UU 68/1958 dan UU 7/1984 , belum bisa menampakkan hasil yang menggembirakan dalam prakteknya.

Kebijakan afirmasi bagi perempuan dalam bidang politik baru mulai terasa sejak diberlakukannya UU 31/2002 tentang Partai Politik yang didalamnya menyebutkan bahwa kepengurusan partai politik harus memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Karena dalam undang-undang disebutkan hanya “memperhatikan” sehingga dalam praktek penerapannya, pengurus partai politik masih saja di dominasi laki-laki. Untuk kesekian kalinya negara belum berhasil menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam politik.

Upaya untuk menerapkan kebijakan afirmasi bagi perempuan masih terus diperjuangkan. Jika dalam UU 31/2002 hanya menggunakan rumusan “memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”, maka dalam UU 2/2008 tentang Partai Politik lebih konkrit lagi dengan “menyertakan 30% keterwakilan perempuan”. Tidak hanya itu, dalam UU 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR,DPD  dan DPRD ditegaskan lagi: menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat (pasal 8 ayat (1) huruf d). Tidak hanya terbatas pada kepengurusan parpol, komposisi daftar bakal calon juga disyaratkan memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (pasal 53). Bahkan dalam setiap  3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon (pasal 55 ayat (2) ) yang selanjutnya di kenal dengan istilah zipper system.

 Pada pengalaman di pemilu sebelumnya, selain jumlah perempuan yang tercantum dalam daftar bakal calon yang selalu minim, nomor urutnya pun di letakkan pada posisi yang tidak menguntungkan bagi perempuan, sehingga sulit untuk dapat bisa terpilih, yaitu di nomor urut paling buncit. Pemilih cenderung memilih nomor urut kecil karena posisi ada diatas dan kemungkinan lebih terbaca dibandingkan nomor urut yang berada paling bawah.  Oleh karena itu zipper system sedikit membantu agar peluang terpilihnya  perempuan lebih besar karena di letakkan pada nomor urut yang lebih kecil. Dari tiga urutan nomor, satu perempuan pasti masuk di daftar tersebut. Namun upaya ini mengalami kegagalan tatkala MK memutuskan bahwa pasal 214 huruf a s/d e tentang penetapan calon dengan nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, akibatnya pada pemilu tahun 2009  penetapan calon harus menggunakan suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut.

Sejak diberlakukannya kebijakan afirmasi pada perempuan, setidaknya sudah mulai tampak perubahan-perubahan ke arah yang diinginkan, walaupun belum bisa memenuhi syarat  minimal 30%. Pemilu pertama setelah Orde Baru yaitu pemilu tahun 1999 berhasil mendudukkan 9,0% perempuan di DPR RI, pemilu tahun 2004 menempatkan 11,3% perempuan di DPR RI , pemilu tahun 2009 meningkat lagi menjadi 18,39%. Tetapi pada pemilu 2014 sedikit mengalami penurunan menjadi 17,32% perempuan terpilih di DPR RI. Dalam pemerintahan, jumlah kepala daerah  perempuan juga mengalami perkembangan.

Apakah kebijakan afirmasi sudah cukup untuk mendorong agar perempuan bisa mendapatkan keadilan dan kesetaraan dalam  berpolitik dan pelayanan publik?

Kurang lebih sudah tujuh belas tahun sejak tahun 1999-2016 diberlakukannya kebijakan afirmasi terhadap perempuan . Namun dari sisi jumlah, kuota 30% perempuan belum terpenuhi meski sudah tertuang dalam UU. Hal itu disebabkan karena:

  1. Tidak adanya sangsi yang tegas dalam UU bagi pelanggar ketentuan itu. Parpol yang tidak menyertakan 30% perempuan dalam kepengurusannya juga merasa aman-aman saja sehingga tak perlu repot-repot untuk mencari kader perempuan. Andaikan hal ini terdapat sangsi, misalnya ijin pendirian partai tidak dikeluarkan, atau didiskualifikasi sebagai peserta pemilu, maka niscaya semua partai akan mengikutinya. Kesimpulannya: kebijakan afirmasi pada perempuan masih setengah hati dijalankan.
  2. Tidak banyaknya perempuan yang terlibat di legislatif sebagai pembuat undang-undang. Perempuan sebagai pihak yang berkepentingan tidak bisa memperjuangkan lebih maksimal jika tidak terlibat langsung dalam memutuskan suatu persoalan yang menyangkut diri sendiri.

Pada posisi sekarang, dominasi  laki-laki masih sangat tampak, baik dari sisi jumlah maupun di posisi-posisi kunci. Meskipun ada banyak perempuan Indonesia yang memiliki potensi, masih ditemui tantangan-tantangan untuk dapat berpartisipasi penuh dalam sistem politik yang ada serta dukungan dari kelompok yang berpengaruh dalam politik. Namun semua hal itu bisa saja terwujud :

  1. Jika bisa menempatkan perempuan yang cukup dalam legislatif minimal kuota 30%, sehingga keputusan yang dihasilkan akan bermanfaat banyak.
  2. Perempuan yang berada pada posisi strategis untuk pengambilan keputusan, membuat keputusan-keputusan yang diambil berspektif gender dengan memperhatikan kepentingan perempuan dan membuat perempuan kian berkembang. Dalam jangka panjang tidak membuat perempuan dalam posisi terpinggirkan.
  3. Pentingnya memahami kerjasama antara laki-laki dan perempuan di parlemen dapat menjamin isu-isu terkait kepentingan perempuan, anak dan keluarga mendapat perhatian yang lebih banyak.

Perempuan penduduk yang jumlahnya hampir sama dengan laki-laki harus terwakili kebutuhan dan kepentingannya di dalam proses pembuatan kebijakan, mendorong keterbukaan akses, partisipasi,kontrol dan manfaat yang adil pada perempuan untuk mengurangi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan politik dan pelayanan publik. Perempuan menjadi role model membangun kekuatan yang sinergis, menyatukan persepsi tentang prioritas pembangunan dan penguatan kapasitas perempuan.

Keterlibatan aktif seluruh warga negara dalam pembangunan, baik laki-laki maupun perempuan diharapkan dapat membawa manfaat yang sama bagi seluruh warga negara.   Harapannya dalam setiap pengambilan kebijakan senantiasa dapat merasakan manfaat yang adil dari pembangunan. Selain itu diharapkan praktek-praktek diskriminasi terhadap perempuan secara struktural maupun kultural dapat ditiadakan.

Kalender Even


  • No Events

Tulisan Terbaru


  • Pengumuman KPU Surabaya Untuk Migrasi WEB KPU Surabaya
  • KPU Provinsi Jawa Timur Gelar Sosialisasi dan Bimtek Tata Cara Pengisian Lembar Kerja Evaluasi (LKE) dan Zona Integritas
  • Apel Pagi Ingatkan Tingkatkan Kerjasama dan Kekompakan
  • Selamat Hari Santri 22 Oktober 2021
  • KPU Surabaya Terima Kunjungan Kerja KPU Kabupaten Gianyar, Bali
  • KPU Surabaya Adakan Rakor SPIP
  • KPU Surabaya Terima Audiensi DPD Partai Ummat Kota Surabaya
  • MEMPERINGATI MAULID NABI MUHAMMAD SAW 12 ROBIUL AWAL 1443 H
  • Apel Pagi Sekretaris KPU Surabaya Ingatkan Kekompakan
  • SELAMAT HARI PARLEMEN INDONESIA 16 OKTOBER 2021

RSS KPU RI


KPU KOTA SURABAYA
Jl. Adityawarman 87
Surabaya, Jawa Timur
Indonesia 60242


☏ 031 - 5685973 | faximile
☎ 031 - 5681028
✉ [email protected]
  • Sitemap
  • Sitestats
  • Kontak
  • Webmaster
  • Faq
Copyright © 2019 KPU Kota Surabaya