Menakar Partisipasi Politik Pemilih Pemula (Pilkada Surabaya 2015)

Written by Nur Syamsi – Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Pengembangan Informasi KPU Kota Surabaya
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kegiatan politik yang bisa dilakukan dengan cara berpartisipasi langsung dalam memilih pimpinan maupun secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik. Ramlan Surbakti memberikan definisi singkat mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Surbakti, 1999:140). Milbrath dan Goel (dalam Surbakti 1999:143) membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori berikut : Pertama, apatis. Artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator. Artinya, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator. Artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. Keempat, pengritik, yakni dalam bentuk partisipasi tidak konvensional.
Partisipasi politik dapat bersifat perorangan (individual) misalnya melakukan kritik dan memberi masukan terhadap kebijakan publik baik dilakukan dengan cara menulis di media ataupun dilakukan secara langsung menyampaikan kritik dan saran kepada pengambil kebijakan. Selain itu, partisipasi politik bersifat kelompok terorganisir (LSM, Parpol, ormas, maupun organisasi kepemudaan dan organisasi kemahasiswaan). Misalnya, kita terbiasa melihat aksi organisasi mahasiswa atau kelompok masyarakat yang melakukan unjuk rasa menyuarakan berbagai tuntutan kepada pemerintah.
Di dalam konteks pemilu partisipasi politik dapat kita bedakan menjadi dua katagori yaitu partisipasi pasif dan partisipasi aktif/substantif. Pertama, partisipasi pasif adalah kegiatan memilih oleh partisan karena dimobilisir oleh individu atau kelompok tertentu dalam rangka meraih suara partisan. Kedua, partisipasi aktif/substantif adalah kegiatan memilih partisan yang didasari karena kesadaran bahwa pilihannya akan mampu menyalurkan aspirasi partisan. Keduanya sama-sama dalam kerangka partisipasi politis kelompok atau individu, Tetapi keduanya mempunyai perbedaan yang sangat kuat pada tataran prinsip dari pada realitas. Bahkan, tidak jarang partisan aktif turut serta dalam proses pengawasan suara dengan cara yang memungkinkan dilakukan.
Menilik realitas yang terjadi, pemilih dalam menggunakan hak pilihnya bisa dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karena kesamaan latar belakang agama, pada beberapa kelompok pemilih kesamaan agama antara si pemilih dengan orang yang akan dipilih menjadi dasar pertimbangan khusus karena merasa punya kebanggaan atau kesamaan persepsi dan doktrin tentang syarat pemimpin. Kedua, karena kesamaan latar belakang asal daerah, pemilih kadang merasa bangga jika pemimpin yang akan memimpin suatu daerah adalah orang yang satu daerah dan diharapkan bisa mewakili aspirasinya. Ketiga, karena pemimpin yang dipilih adalah putra daerah, pertimbangan pilihan ini juga sangat logis dan cenderung menjadi trend karena putra daerah diasumsikan orang yang banyak tahu persoalan daerah yang akan dipimpin. Keempat, karena berpengalaman memimpin, pengalaman memimpin sangat terkait dengan kecakapan bagimana mempimpin suatu daerah sehingga percepatan-percepatan pembangunan suatu daerah bisa dioptimalkan. Faktor ini juga kadang menjadi kunci keberhasilan seorang calon karena kepemimpinannya sudah dirasakan oleh masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah menjatuhkan pilihannya. Kelima, karena tingkat pendidikan calon, tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu cermin kecerdasan seseorang. Di dalam memimpin suatu daerah dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola kemajemukan di masyarakat. Keenam, karena tingkat ekonomi calon, di sebagian masyarakat tingkat ekonomi calon dianggap bahwa calon dengan tingkat ekonomi yang tinggi akan mengurangi resiko calon terjebak dalam tindakan koruptif.
Lalu dimanakah posisi strategis pemilih pemula?
Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 01 Tahun 2014 pasal 56 ayat (1) berbunyi, “Orang Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah/kawin, mempunyai hak memilih”. Jika ditelusuri orang yang berumur 17 tahun adalah mereka para pelajar SMU atau mahasiswa tingkat awal dengan jumlah yang cukup besar. Berdasarkan katagori umur, maka karakteristik yang dimiliki oleh pemilih pemula yaitu belum pernah memilih atau melakukan penentuan suara di dalam TPS, belum memiliki pengalaman memilih, memiliki antusiasme yang tinggi, kurang rasional, pemilih muda yang masih penuh gejolak dan semangat, memiliki rasa ingin tahu, mencoba, dan berpartisispasi dalam pemilu, meskipun kadang dengan berbagai latar belakang yang berbeda.
Berdasarkan populasi penduduk, data pemilih pemula secara nasional untuk Pileg dan Pilpres sebesar 20% dari total DPT dan untuk Pilpres sebesar 20%. Sedangkan data pemilih pemula di Kota Surabaya untuk pemilu legislatif 2014 adalah 3,98% dari total jumlah pemilih. Data pemilih pemula di kota Surabaya untuk pemilu presiden 2014 sebesar 4,17% dari total jumlah pemilih.
Jika ditarik benang merah antara karakter dan jumlah pemilih pemula yang cukup besar, maka pemilih pemula merupakan medan magnet yang mempunyai daya tarik kuat bagi peserta pemilu untuk mendongkrak suara. Dengan demikian bisa dipahami jika masing peserta pemilu akan menyiapkan strategi khusus untuk mampu menarik minat dan perhatian para pemilih pemula. Sebuah medan magnet yang kuat dengan daya tarik yang kuat pula dari berbagai peserta pemilu, maka pemilih pemula membutuhkan pengetahuan bagaimana saling tarik menarik itu bisa menjadi harmoni.
Terdapat beberapa tips pemilih pemula yang cerdas agar pilihannya jatuh kepada pusaran pilihan yang tepat. Pertama, menata orientasi dan pemahaman bahwa berpartisipasi untuk memilih dalam pemilihan adalah sesuatu yang sangat penting bagi keberlangsungan dan masa depan pembangunan. Karena pemimpin yang akan dilahirkan dari hasil pemilihan inilah yang akan melakukan pengambilan kebijkan-kebijakan strategis yang pasti akan berpengaruh terhadap nasib masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Kedua, mengetahui dan memastikan bahwa pemilih telah terdaftar pada daftar pemilih sementara, jika belum terdaftar maka pemilih harus mendaftarkan diri kepada petugas pendaftaran pemilih yang ada dilingkungan sekitar. Ketiga, jika sudah pasti terdaftar dalam pemilih, maka pastikan dimana pemilih tersebut bisa melakukan pemilihan/pencoblosan. Keempat, mengenali sosok dan latar belakang peserta pemilu, mengenali sosok dan latar belakang menjadi penting untuk bisa derajat integritas peserta pemilu, bagaimana rekam jejak dan keberhasilan seorang atau partai politik dalam mengemban kepemimpinan di tempat sebelumnya. Kelima, mengetahui visi dan misi peserta, mengetahui visi dan misi peserta pemilu akan memudahkan pemilih pemula dalam menentukan pilihan yang mampu mewakili dan mewujudkan harapan akan masa depan pemilih. visi misi peserta pemilu akan disampaikan pada saat kampanya baik kampanye tertutup maupun terbuka. Keenam, menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara sesuai dengan hati nurani dan pilihannya. Ketujuh, melakukan pengawasan terhadap proses perhitungan suara untuk memastikan bahwa tidak ada suara yang hilang.
Posisi strategis pemilih pemula dalam pemilihan kepala daerah kota Surabaya
Data KPU Kota Surabaya Surabaya pada pemilihan kepala daerah tahun 2010 menunjukkan jumlah pemilih terdaftar sebesar 2.145.263 pemilih, dengan tingkat partisipasi sebesar 43,46%. Dari jumlah tersebut, terdapat pemilih pemula sebesar 8,6%. Itu berarti pemilih pemula akan memegang peranan strategis jika masing-masing pemangku kepentingan mampu mengoptimalkan peran serta pemilih pemula plus ada kesadaran dan pengetahuan bersama pada pemilih pemula akan pentingnya pemilihan kepala daerah.
Tidak akan jauh berbeda dari tahun 2010, pemilihan kepala daerah tahun 2015 jika dilaksanakan secara langsung maka akan menempatkan kembali posisi pemilih pemula pada tempat yang strategis. Kerjasama antar pemerintah daerah, partai politik dan penyelenggara pemilihan secara sinergi diperlukan dalam rangka optimalisasi peran serta pemilih pemula sehingga tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah tahun 2015 bisa ditingkatkan.