Memahami Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah: Sebuah Pengantar

Oleh:
Drs. Andam Riyanto[1]
Pasca reformasi 1998, tuntutan terhadap penyelenggaraan negara yang baik (Good Governance) menjadi wacana arus utama, dan termanifestasikan dengan munculnya UU No. 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Asas-asas penyelenggaraan negara yang baik menurut UU tersebut meliputi: asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Asas akuntabilitas dalam konteks ini dipahami bahwa setiap program dan kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paradigma sebagaimana tersebut di atas memosisikan pemerintah sebagai pemegang amanah (agen) dalam penyelenggaraan negara, dan parameter akuntabilitas kinerja diukur dalam mana pemerintah mampu mempertanggungjawabkan semua aktivitas pemerintahan kepada rakyat sebagai pemberi amanah (prinsipal). Pemerintah wajib menjamin hak-hak informatif masyarakat sebagai konsekuensi logis dari model relasional tersebut. Masyarakat berhak untuk tahu dan didengar aspirasinya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas kinerja pemerintah ini kemudian diatur lebih mendetail dalam PP No. 8/2006 mengatur tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Perpres No. 29/2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah pada 21 April 2014 yang menggantikan Inpres No. 7/1999, dan Permenpan No. 53/2014 yang mengatur tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Tulisan ini lebih lanjut akan menjelaskan mengenai akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP), sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP), dan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP).
Dalam ketentuan umum Perpres No. 29/2014 disebutkan bahwa akuntabilitas kinerja merupakan perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan program dan kegiatan yang telah diamanatkan para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai misi organisasi secara terukur dengan sasaran/target kinerja yang telah ditetapkan melalui laporan kinerja instansi pemerintah yang disusun secara periodik. Kinerja dalam hal ini diartikan sebagai keluaran/hasil dari kegiatan/program yang telah atau hendak dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur.
SAKIP adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggunggjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. Produk akhir dari SAKIP adalah LAKIP yaitu dokumen yang berisi gambaran perwujudan akuntabilitas kinerja, pertanggungjawaban kinerja suatu instansi pemerintah dalam mencapai tujuan/sasaran strategis yang telah ditetapkan berdasarkan penyelenggaraan sistem akuntabilitas kinerja secara sistematik. LAKIP ini yang kemudian menggambarkan kinerja yang dicapai oleh suatu instansi pemerintah atas pelaksanaan program dan kegiatan yang dibiayai APBN/APBD. Penyusunan LAKIP berdasarkan siklus anggaran yang berjalan 1 (satu) tahun. Dalam pembuatan LAKIP suatu instansi pemerintah harus dapat menentukan besaran kinerja yang dihasilkan secara kuantitatif yaitu besaran dalam satuan jumlah atau persentase. LAKIP disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir dan disampaikan bersamaan dengan perjanjian kinerja tahun berikutnya.
Tujuan penerapan SAKIP dalam penyelenggaraan negara diantaranya adalah membangun pemerintahan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat; penajaman penerapan program dan kegiatan pembangunan dan mencegah penggunaan anggaran bagi kegiatan yang bukan prioritas; tersedianya laporan kinerja dan keuangan instansi pemerintah yang dapat dipertanggungjawabkan; mendorong pertanggungjawaban instansi pemerintah yang transparan dan terbuka; serta memberikan dasar berbasis kinerja bagi pemerintah untuk menghindari praktik KKN dalam penyelenggaraan kegiatan negara.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan SAKIP terderivasikan dalam enam anasir yang saling berkaitan secara fungsional yaitu pertama, rencana strategis yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran (uraian dan indikator) dan cara mencapai tujuan (kebijakan dan program). Kedua, perjanjian kinerja yang memuat sasaran strategis, indikator & target kinerja, program, anggaran, disusun paling lambat 1 bulan setelah anggaran disahkan. Ketiga, pengukuran kinerja dimana dilakukan dengan membandingkan realisasi kinerja dengan sasaran/target yang hendak dicapai melalui indikator yang telah ditetapkan. Keempat, pengelolaan data kinerja yaitu proses mencatat, mengolah, dan melaporkan data kinerja mencakup penetapan data dasar, perolehan, penatausahaan, penyimpanan, perangkuman, dan pengkompilasian data. Kelima, pelaporan kinerja atas prestasi kerja yang dicapai berdasarkan penggunaan anggaran yang telah dialokasikan; dan keenam, reviu dan evaluasi kinerja yang ditelaah oleh APIP dalam rangka meyakinkan keandalan informasi laporan kinerja sebelum diserahkan kepada pemerintah yang berwenang. Hasil dari evaluasi kinerja ini kemudian menjadi masukan bagi perencanaan strategis tahun berikutnya yang lebih baik.
Secara praktis, penyelenggaraan SAKIP dalam instansi pemerintah memunculkan dua keluaran terukur yaitu berupa laporan keuangan yang kemudian diaudit dan laporan kinerja yang kemudian dievaluasi. Di lingkungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pelaksanaan reformasi birokrasi melalui peningkatan akuntabilitas kinerja telah menjadi prioritas bagi KPU di samping persoalan teknis kepemiluan. Peningkatan akuntabilitas dilakukan melalui penyempurnaan kualitas dokumen akuntabilitas kinerja utama, mulai dari rencana strategis (Renstra), rencana kinerja tahunan, perjanjian kinerja dan pelaporan kinerja. Selain itu, menyusun penjabaran kinerja utama dari level pusat sampai dengan satuan kerja dibawahnya serta kinerja individu yang mengacu pada arsitektur kinerja yang baik. serta membangun sistem monitoring dan evaluasi kinerja secara berkala atas perjanjian kinerja yang telah disepakati secara berjenjang.[2]
Peningkatan akuntabilitas kinerja juga dilakukan dalam bidang pelayanan informasi kepemiluan di lingkungan KPU sampai tingkat satker melalui keterbukaan informasi hasil pemilu, pembentukan PPID, dan penguatan pelayanan masyarakat melalui teknologi informasi. Pada tahun 2015, akuntabilitas kinerja KPU mendapatkan nilai 56.17 dengan predikat CC (cukup baik), sedangkan terkait dengan laporan keuangan, opini BPK terhadap KPU adalah WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Khusus KPU Kota Surabaya, dalam penilaian kinerja pelaksanaan anggaran satuan kerja lingkup wilayah kerja KPPN Surabaya I periode I semester I Tahun 2016, mendapat nilai 90.80, dan menduduki peringkat 2 dari 125 satuan kerja. Penilaian kinerja sebagaimana tersebut diatas merupakan hasil evaluasi dan monitoring yang berdasarkan pada 11 (sebelas) indikator penilaian yaitu penyerapan anggaran (25%); pengelolaan uang persediaan (15%); pengelolaan data kontrak (7%); pagu minus DIPA (5%); revisi DIPA (6%); retur SP2D (7%); dispensasi rencana penarikan dana (7%); LPJ bendahara (7%); kesalahan SPM (7%); dan deviasi halaman III DIPA (7%).
Tentu prestasi tersebut wajib untuk dipertahan-tingkatkan, agar KPU tetap dapat ikut andil dalam paradigma baru akuntabilitas kinerja penyelenggaraan negara yaitu pemerintahan itu bukan lagi tentang seberapa besar anggaran yang telah dan akan dihabiskan, tetapi lebih pada tentang berapa besar kinerja yang dihasilkan dan kinerja tambahan yang diperlukan agar tujuan yang ditetapkan dapat tercapai secara lebih ekonomis, efektif, dan efisien.
[1] Kasubbag Program dan Data KPU Kota Surabaya
[2] ‘Kinerja KPU Harus Dapat Dipertanggungjawabkan’ dalam http://www.kpu.go.id/index.php/ post/read/2016/5244/Kinerja-KPU-Harus-Dapat-Dipertanggungjawabkan diakses tanggal 27 September 2016