KPU Surabaya Hadiri Gelar Inovasi Guru Besar Universitas Airlangga Tentang Demokrasi dan Keadilan

Hupmas, KPU SURABAYA- KPU Surabaya mendapat kehormatan untuk menghadiri undangan Gelar Inovasi Guru Besar yang bertajuk “Demokrasi dan Keadilan: Mimpi yang Harus Segera Direalisasikan”. Acara tersebut diselenggarakan pada Rabu (19/10/2016) bertempat di Kampus C Universitas Airlangga, Mulyorejo, Surabaya.
Komisioner Divisi Teknis, Nurul Amalia, yang hadir pada acara tersebut, mengatakan bahwa kegiatan pendidikan demokrasi seperti ini baik oleh akademisi maupun kelompok masyarakat lainnya menjadi sangat penting. Semakin banyak kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan pendidikan demokrasi dan pendidikan politik, maka akan semakin bagus pula kualitas demokrasi kita.
“Dalam perspektif penyelenggaraan pemilu, KPU secara berkelanjutan juga melakukan kegiatan pendidikan pemilih terhadap kelompok-kelompok masyarakat. Minimal dalam seminggu kami menemui satu kelompok masyarakat untuk berkoordinasi dan diskusi tentang pentingnya partisipasi pemilih dalam setiap kegiatan pemilu maupun pilkada,” ungkap Nurul Amalia.
Sementara itu, bertindak sebagai narasumber adalah Prof. Ramlan Surbakti (Guru Besar FISIP Unair), Prof. Djoko Mursinto (Guru Besar FEB Unair), dan Prof. Hotman Siahaan (Guru Besar FISIP Unair). Sebagai moderator adalah Suparto Wijoyo.
Prof. Hotman Siahaan sebagai pemateri pertama mengemukakan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia belum mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, yaitu untuk mensejahterakan masyarakat. Alih-alih mensejahterakan masyarakat yang terjadi justru adanya diskriminasi. Menurut Prof. Hotman, seharusnya keputusan yang diambil berdasarkan azas demokrasi tidak menimbulkan diskriminasi. “Jika hal ini terjadi, maka berarti ada yang salah dalam proses berdemokrasi tersebut,” ucap Prof. Hotman.
Paparan kedua disampaikan oleh Prof. Djoko Mursinto. Prof. Djoko menyoroti tentang demokrasi di bidang ekonomi, terutama di wilayah pedesaan. Menurut Prof. Djoko, tujuan utama pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun kenyataanya pembangunan tidak menyentuh masyarakat desa. Masyarakat desa malah menjadi obyek dalam pembangunan, bukan sebagai subyek. “Saat ini ada yang namanya musrenbang, yang seolah-olah merupakan usulan dari bawah. Tapi dalam prakteknya, jarang hasil musrenbang di pakai sebagai acuan pembangunan,” ungkap Prof. Djoko.
Prof. Djoko mengungkapkan, dengan adanya penguatan desa melalui dana desa, paling ada harapan agar perekonomian di desa bisa diperkuat. BUMDes merupakan salah satu wujud penguatan ekonomi di desa. “Minimal modal itu tidak keluar dari desa itu tapi dikelola oleh masyarakat desa itu sendiri,” tambah Prof Djoko.
Prof. Ramlan yang mendapat giliran terakhir dalam penyampaian paparan mengungkapkan, keadilan dimaknai sebagai adil sesuai dengan konstitusi. Negara harus hadir untuk mencegah kemiskinan absolut terjadi. Kemiskinan terjadi karena ada kesenjangan sosial yang sangat jauh. Kesenjangan sosial tidak selalu buruk, jika jaraknya tidak terlalu jauh. Kesenjangan sosial juga bisa untuk memotivasi diri menjadi lebih baik.
Disinggung juga tentang sistem pemilu proporsional terbuka yang dipakai dalam pemilu legislatif saat ini, menurut Prof. Ramlan, hal inilah yang menyebabkan tidak adanya partai yang mayoritas. Karena yang dipilih adalah personal, lanjut Prof. Ramlan, personal yang punya banyak modal yang menang karena banyak uang. “Padahal, kursi yang ada di DPR itu adalah milik partai, bukan milik perorangan. Akibatnya, jika ada anggota dewan yang di PAW , mereka akan melawan karena merasa kursi itu miliknya,” papar mantan Ketua KPU RI periode 2004-2007 tersebut.
Bicara tentang affirmative action, terdapat dua hal yang menjadi catatan Prof. Ramlan. Pertama, tentang komposisi perempuan dalam parpol. Menurutnya, mestinya ketentuan tersebut dibuat didepan, bukan dibelakang, agar efektif. “Maksudnya, mewajibkan adanya kuota 30% perempuan dalam rekrutmen anggota partai dan kaderisasi partai.” kata Prof. Ramlan. Sehingga saat pencalonan, partai tidak lagi kesulitan menempatkan perempuan dalam daftar caleg. Tidak ada lagi alasan tidak ada perempuan yang bisa dicalonkan. Kedua, sampai saat ini belum ada wujud yang dihasilkan oleh perempuan yang sudah duduk di DPR.