KPU : Penguatan Kelembagaan Untuk Demokrasi Berintegritas

Oleh: Nur Syamsi, S. Pd
Komisioner KPU Surabaya Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Pengembangan Informasi
Yusuf Qordhawi, seorang tokoh Islam dari Mesir, mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu wadah bagi masyarakat untuk memilih seseorang yang menjadi pengatur kepentingan masyarakat dimana pimpinannya bukanlah orang yang dibenci, peraturannya bukan yang masyarakat tidak kehendaki dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban apabila pemimpin tersebut salah… (https://almanhaj.or.id/2200-dr-yusuf-al-qaradhawi-dan-demokrasi.html). Merujuk pendapat tersebut, praktek pengelolaan demokrasi membutuhkan tiga unsur penting yaitu wadah/sarana, orang yang dipilih, dan masyarakat sebagai pemilih. Terhadap unsur orang yang akan dipilih dan masyarakat pemilih, keduanya mempunyai ketergantungan kepentingan satu sama lain. Ketergantungan tersebut kemudian dipertemukan dalam semuah mekanisme yang disebut demokrasi, lebih lanjut kita kenal dengan pemilu.
Merujuk pada UUD 1945 pasal 22E, secara umum, demokrasi yang dijalankan oleh bangsa ini telah memenuhi dua unsur penting berdasar pengertian Dr. Yusuf Qordhawi. Pertama, peserta pemilu dalam hal ini adalah parpol sebagai institusi serta DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden, dan DPRD sebagai output yang dihasilkan dari proses pemilu (ayat 2, 3 dan 4). Partai politik sebagai rumah persinggahan para kandidat yang akan meminta mandat dari rakyat adalah tempat dimana kandidat merumuskan berbagai kebijakan penting dan bernilai bagi rakyat, kemudian dikonfirmasikan kepada rakyat untuk mendapat persetujuan.
Di sinilah ruang pemilihan oleh rakyat yang sesungguhnya, dimana rakyat akan melakukan seleksi dan pilihan terhadap berbagai rumusan nilai yang dibangun oleh partai dan calonnya. Rumusan nilai-nilai inilah yang seharusnya dipilih oleh rakyat yang kemudian dipersonifikasikan dalam bentuk pilihan orang di bilik suara. Rumusan nilai-nilai itu pulalah yang selanjutnya akan dijalankan oleh para kandidat yang terpilih dalam tataran teknis di lembaga perwakilan yang sekaligus akan menjadi sarana kontrol bagi rakyat untuk memilih kembali para wakilnya atau justru memberikan sanksi dengan tidak memilih kembali.
Kedua adalah wadah atau sarana (pemilu) berserta penyelenggara pemilihan yang dimandatkan kepada sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (ayat 1 dan 5). KPU hadir mewakili negara dalam proses penyelenggaraan kontestasi lima tahunan dalam rangka memperebutkan kepercayaan rakyat yang dilakukan oleh partai politik. Kehadiran KPU dengan sifat kemandiriannya dimaksudkan agar tujuan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil ini betul-betul tercapai (ayat 1). Sehingga, tujuan pokok dari demokrasi untuk menghasilkan pimpinan bukan orang yang dibenci dan orang yang dikehendaki oleh mayoritas masyarakat terpenuhi.
Unsur yang belum disebut secara eksplisit dalam pasal 22E adalah rakyat sebagai pemilih, rakyat yang akan diwakili dan yang akan menyerahkan mandat pengaturan negara kepada orang-orang yang akan dipilihnya. Untuk itu peran dan fungsi rakyat diatur dalam undang-undang pemilihan presiden, undang-undang pemilihan legislatif dan undang-undang pilkada.
Sejarah perjalanan demokratisasi Indonesia pasca reformasi telah melewati empat tahapan periodesasi pemilu. Sepanjang itu pula pelaksanaan demokratisasi kita telah mencatat berbagai kemajuan. Kemajuan ini bisa dilihat dari kompetisi oleh peserta pemilu yang kian hari semakin sehat, partisipasi pemilih yang dinamis, dan sistem pertanggungjawaban mekanisme penyelenggaraan yang semakin akuntabel oleh penyelenggara. Tantangan terhadap akuntabilitas penyelenggaraan pemilu ke depan pasti akan lebih berat seiring dengan semakin matangnya bangsa ini berdemokrasi dan tuntutan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Tentu, pemilu yang berintegritas tidak mungkin hanya dihadirkan oleh KPU, tetapi dibutuhkan kesadaran bersama antar semua komponen yang terlibat pemilu. Namun, secara empiris ketika ada persoalan pemilu yang paling ditimpa beban berat adalah KPU, sekalipun penimpaan tersebut atas ketidakpahaman akar persoalan atau sengaja ditimpakan kepada KPU untuk menjadi kambing hitam.
Dalam posisi seperti ini, apa yang harus dilakukan KPU agar keberadaannya mampu menghadirkan pemilu yang berintegritas?
Prof. Jimly Assidiqy dalam artikel berjudul Pemilihan Umum Serentak dan Penguatan Sistem Pemerintahan menyatakan, “KPU haruslah siap untuk senantiasa berdiri tegak bekerja dengan independen, profesional, imparsial, objektif, transparan, akuntabel, dan berintegritas, di hadapan para pejabat eksekutif di sebelah kanan yang terdiri atas Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota beserta wakilnya masing-masing sebagai peserta pemilu, para pejabat legislatif di sebelah kiri yang terdiri atas anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta para penguasa cabang kekuasaan yudisial, yaitu MA dan MK di sebelah depan. Dengan demikian, institusi penyelenggara pemilihan umum itu di masa kini dan di masa depan haruslah dikonstruksikan sebagai cabang keempat kekuasaan negara, atau “the quadru politica” dalam arti mikro. Dalam arti makro, keempat cabang kekuasaan baru di zaman sekarang ini adalah negara, masyarakat, pasar, dan media; sedangkan dalam arti mikro keempat cabang kekuasaan itu terdiri atas cabang kekuasaan eksekutif (executive power), legislatif (legislative power), yudikatif (judicial power), dan cabang kekuasaan pemilu demokratis (electoral power).”(www.jimly.com)
Untuk mampu menghadirkan pemilu yang berintegritas apalagi lebih jauh menjadi cabang kekuasaan yang baru dalam sistem ketatanegaraan kita, tentu KPU tidak hanya puas dengan apa yang telah dijalankan seperti sekarang dan dengan menambahkan kekuasaan begitu saja pada lembaga ini. Electoral Power tersebut harus dibarengi dengan upaya-upaya konstruktif dalam rangka penguatan lembaga, untuk melahirkan output kerja yang bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi maupun kelembagaan. Dalam kontek itulah maka penguatan kelembagaan menjadi prioritas, agar kerja-kerja yang dibangun oleh lembaga ini mampu dipertanggungjawabkan. Senada dengan kontruksi ide yang dibangun oleh Prof. Jimly Assidiqy, dalam sebuah kesempatan, Ketua KPU RI Husni Kamil Manik mengatakan bahwa “Terwujudnya kelembagaan yang kuat merupakan komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU)”. (http://kpujatim.go.id/ :18 mei 2016)
Menurut hemat saya penguatan kelembagaan yang dimaksud telah lama dilaksanakan oleh lembaga ini dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan individual capacity building. Pendekatan ini telah lama dilakukan secara bertahap dengan melakukan berbagai bimbingan teknis penyelenggaraan, beasiswa pascasarjana untuk peningkatan kualitas teknis para pegawai yang memenuhi persyaratan (tahun 2016 masuk angkatan kedua). Tujuan dari individual capacity building adalah untuk menciptakan individu-individu yang cakap dalam mengoperasikan sistem kerja yang menjadi kewenangan masing-masing. Pendekatan kedua adalah organizational capacity building. Pendekatan ini lebih berorientasi cara pengelolaan dan sistem kerja sebuah lembaga, sehingga diperoleh output kerja yang efektif-efesien dan akuntabel. Kedua capacity ini memang harus berjalan berimbang karena dengan kemampuan teknis yang bagus, dan sistem/mekanisme kerja yang mengedepankan transparansi akan muncul output kerja yang akuntabel.
Sejak pemilu legislatif tahun 2014 KPU telah mulai membangun sistem kerja yang mengedepankan tansparansi dan akuntabilitas. Terdapat beberapa sistem kerja yang telah dihasilkan KPU. Pertama, Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih). Belajar dari pemilu ke pemilu berikutnya, persoalan data pemilih menjadi persoalan yang akut yang susah dipecahkan.Oleh karena itu, KPU menghadirkan inovasi yang berbasis IT untuk mengurai problem data pemilih dengan hadirnya Sidalih. Fungsi pokok dari Sidalih adalah aplikasi berbasis online yang dibangun untuk membantu petugas di KPU kabupaten/Kota dalam melakukan pengolahan data pemilih secara lebih mudah, cepat dan tepat. Sistem informasi yang telah dioperasionalkan sejak pemilu legislatif dan pilpres tahun 2014 ini juga bermanfaat bagi partai politik selaku peserta pemilu dan masyarakat selaku pemilih untuk turut serta mengawasi dan melibatkan diri dengan memberi masukan kepada petugas tentang data output Sidalih.
Di luar kedua manfaat tersebut, Sidalih juga mempunyai manfaat lain yang mempermudah warga Negara untuk bisa tetap menggunakan hak pilihnya sekalipun berada di luar wilayah administrasi kependudukan. Kejadian yang langsung bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat terhadap manfaat Sidalih adalah ketika pelaksanaan pilpres 2014. Pilpres yang tidak mengenal daerah pemilihan memungkinkan semua masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya dimana saja sesuai dengan peraturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh KPU. Dengan output dari aplikasi sidalih melalui data.kpu.go.id, para pemilih yang mengurus surat pindah pilih bisa dilayani dengan cepat oleh petugas. Petugas dengan cepat pula mampu melakukan verifikasi pemilih hanya dengan memasukkan identitas kependudukan. Apakah pemilih tesebut telah terdaftar sebagai pemilih tetap atau tidak, asal wilayah pemilih dan seterusnya. Selanjutnya diberikan surat pindah pilih oleh petugas untuk bisa menggunakan hak pilihnya di tempat terdekat. Meminjam istilah Chirul Anam, Komisioner KPU Provinsi Jawa Timur Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Data, “KPU telah mampu memindahkan pendataan pemilih yang berbasis manual ke pendataan yang berbasis komputer.” (http://www.koran-sindo.com/news : 10-12-2015).
Kedua, Sistem Informasi Pendaftaran dan Verifikasi Partai Politik (SIPOL) adalah sebuah sistem yang dibangun untuk membantu KPU dan partai politik (parpol) dan pihak-pihak terkait dalam menjalankan pekerjaan yang terkait dengan tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol sebagai peserta pemilu. Dengan bantuan SIPOL, data partai politik beserta komponen-komponennya dapat diproses lebih cepat dan ditingkatkan kualitasnya. (https://sipol.kpu.go.id/files/panduan_sipol_parpol). Dengan sistem ini proses pendaftaran dan verifikasi partai politik akan berjalan terbuka, tanpa ada yang ditutupi atau bahkan dimanipulasi, semua proses berjalan dengan bisa dimonitoring oleh semuanya.
Selain sistem-sistem informasi kepemiluan yang telah diluncurkan sejak pemilu tahun 2014, upaya membangun sistem informasi juga terus dilakukan dengan meluncurkan beberapa aplikasi sistem informasi pada saat pelaksanaan pilkada serentak 2015. Pertama, Sistem Informasi Tahapan Pilkada (SITaP). SITaP adalah sistem informasi mengenai tahapan Pilkada. Diharapkan, keberadaan SITaP dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai seluruh tahapan pilkada tahun 2015. SITaP dapat dijadikan sebagai sarana bagi penyelenggara pemilu untuk menyampaikan data dan informasi yang update mengenai pelaksanaan tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Data yang dimasukan ke dalam SITaP adalah data resmi yang digunakan dalam proses pemilihan dan validitas datanya sudah melalui verifikasi dan persetujuan pejabat berwenang. Sekalipun aplikasi ini baru diluncurkan dan diaplikasikan pada saat penyelenggaraan pilkada serentak 2015, secara fungsi sistem ini seharusnya bisa dikembangkan tidak hanya untuk pilkada tetapi juga bisa diadopsi pada pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dengan mengadopsi sistem ini akan bisa memberi kemudahan bagi para kontestan baik itu kontenstan pemilihan legistaltif maupun kontestan pilpres mendatang dalam mengikuti perkembangan tahapan demi tahapan pelaksanaan pemilu.
Kedua, Sistem informasi logistik (Silog). Sistem informasi ini diaplikasikan untuk kebutuhan pengadaan logistik pemilu dan pilkada. Silog menunjang kinerja KPU dalam mengelola data dan informasi penyebaran logistik secara tepat dan akurat. Dengan Silog, proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi logistik bisa berjalan seimbang. Silog akan terintegrasi dengan website informasi data KPU. Masyarakat langsung bisa mengakses proses penyebaran logistik ke masing-masing daerah. Adapun yang menjadi kebutuhan logistik seperti kertas surat suara berdasar jumlah DPT yang sudah ditetapkan, plus dua persen. Serta kebutuhan lainnya seperti kebutuhan tinta, segel, formulir, kotak suara, plus jalur distribusi logistiknya. Aplikasi ini apabila ditaati dimasing-masing satker, akan mampu meminimalisir adanya niat-niat yang tidak baik dari seluruh proses yang bersinggungan dengan logistik pemilu. Karena seluruh proses harus terintegrasi dengan sistem yang ada.
Ketiga, Sistem Informasi Pencalonan (SILON). SILON adalah sistem informasi yang digunakan oleh KPU untuk melakukan verifikasi atas dukungan calon perseorangan pada saat Pilkada. KPU dapat secara cepat mendeteksi data ganda dukungan calon perseorangan. Jumlah rekapnya dan sebaran dukungan dapat diketahui dengan cepat. Selain itu, Silon juga menyajikan berbagai data tentang calon yang telah mendaftar dan terima oleh KPU. Dan juga partai politik yang mau mendaftarkan calonnya bisa softcopy syarat calon dan syarat pencalonan untuk diserahkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai salah satu syarat pendaftaran
Keempat, Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG). Isu strategis yang selalu menjadi bahan sengketa dalam pemilu selain sengketa pencalonan adalah sengketa hasil, maka KPU pada pelaksanaan pilkada serentak 2015 ini juga menghadirkan sebuah aplikasi yang merupakan terobosan luar biasa, menjawab tantangan dan isu pemanfaatan kemajuan teknologi informasi sebagai alat controlling oleh masyarakat, sistem ini diberi nama SITUNG. SITUNG adalah sistem informasi berbasis teknologi untuk menampilkan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) secara realtime. SITUNG merupakan aplikasi untuk memastikan prinsip dan asas transparan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) ataupun pilkada yang dapat dijalankan dengan baik, sekaligus mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawal hasil pilkada secara terbuka dan transparan. Dalam proses pilkada 2015 ini, formulir yang akan dipindai adalah formulir C1 hasil penghitungan perolehan suara pasangan calon di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam proses pindai tersebut operator melakukannya dengan apa adanya tanpa memperbaiki model C1 tersebut. Jika nantinya terjadi kesalahan, perbaikan kesalahan pada model C1 akan diperbaiki pada rapat rekapitulasi pada tingkat di atasnya atau di kecamatan. Adapun jenis-jenis aplikasi di dalam SITUNG pilkada serentak 2015 terdiri dari aplikasi pindai, e-rekap atau entri data model C1, formulir rekapitulasi hasil penghitungan suara di kecamatan dan kabupaten/kota berbentuk file pdf, dan aplikasi publikasi hasil pilkada.
Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay mengatakan “Publikasi hasil pilkada berbasis hasil perhitungan suara di TPS akan menutup celah pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengubah atau mengotak-atik hasil perolehan suara” (http://www.kpu.go.id/Jurnal Suara KPU RI; Nov-Des 2015). Sekalipun SITUNG adalah hasil yang bersifat sementara, bukan hasil resmi yang menjadi penetapan hasil suatu pilkada, tetapi dengan SITUNG masyarakat bisa mengawal pergerakan hasil dari para kontestan yang dipilihnya mulai dari TPS sampai menjadi hasil penetepan hanya dengan menekan menu-menu yang disediakan di aplikasi ini, sekaligus mementahkan beberapa asumsi kelompok yang mengatakan bahwa hasil perolehan suara bisa dimanipulasi melalui proses rekap manual. Sistem inilah yang disebut oleh Chairul Anam sebagai E-rekap. (http://www.koran-sindo.com/news : 10-12-2015). Sementara hasil resmi akan ditetapkan oleh KPU masing-masing tingkatan, dan dituangkan ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara.
Kelima, E-PPID diluncurkan sebagai wujud komitmen KPU dalam mendukung keterbukaan informasi publik. Transparansi adalah salah satu prinsip yang selalu diterapkan oleh KPU sejak awal penyelenggaraan pemilu. Dengan semakin baiknya pelayanan informasi kepada masyarakat, partisipasi masyarakat diharapkan semakin meningkat. Keterbukaan informasi yang menjadi hak publik akan dibuka seluas-seluasnya dalam rangka menghindari berbagai kecurigaan, baik kecurigaan terhadap proses penyelenggaraan pemilu maupun terhadap pengelolaan data pemilu.
Berbagai upaya kontrukstif KPU dalam rangka penguatan kelembagaan ini telah mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Namun demikian haruslah disadari bersama oleh setiap individu yang berada di dalamnya bahwa pembangunan dan operasional berbagai sistem informasi ini tidak untuk menambahi beban kerja tetapi dalam kerangka meletakkan lembaga KPU pada porsinya. Yaitu, KPU yang senantiasa berdiri tegak bekerja dengan independen, profesional, imparsial, objektif, transparan, akuntabel, dan berintegritas. Jika diimplementasikan dengan benar, sistem yang selama ini dijalankan tanpa disadari mampu memperlebar jarak pertemuan penyelenggara dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam konteks mis-management dan mis-profesional penyelenggaraan pemilu.
Sekalipun berbagai upaya transparansi KPU ini telah mendapatkan banyak apresiasi dari kelompok masyarakat. Namun, tentu saja masyarakat masih menunggu berbagai upaya pembangunan sistem pelayanan yang lain –seraya tidak menarik-narik lembaga ini keluar dari fungsinya-, termasuk bagaimana sistem komputerais KPU dalam membangun budaya kerja dilingkungannya sebagai upaya penguatan kelembagaan agar pemilu kian hari kian berintegritas.