Independensi: Perilaku Utama Penyelenggara Pemilu

Edward Dewaruci, SH., MH – Komisioner KPU Kota Surabaya Periode 2009-2014
Dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2011 yang diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh berasal dari partai politik. Tapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.81/PUU-IX/2011 telah menutup kesempatan itu. Aktivis partai baru bisa menjadi anggota KPU jika sudah mundur dari keanggotaan partai sekurang-kurangnya lima tahun pada saat mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU. Alasan utama keputusan MK sebagaimana diajukan oleh para pemohon judicial review terhadap undang-undang tersebut adalah untuk menjaga independensi dan fairness penyelenggara pemilu. Pemilu adalah ajang kompetisi, bagaimana mungkin kompetisi bisa berjalan dengan fair jika panitia penyelenggara dan juri-jurinya berasal dari para kompetitor. Begitulah kira-kira asumsi yang dibangun.
Pemilu merupakan peristiwa politik yang sangat penting dan punya pengaruh besar dalam perjalanan republik selama lima tahun. Karena besarnya pengaruh itu maka banyak sekali pihak-pihak yang berkepentingan untuk ikut mengintervensi jalannya Pemilu, baik Pemilu untuk memilih anggota legislatif maupun Pemilu untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Jika dalam Pemilu Legislatif, partai-partai punya kepentingan secara langsung, maka dalam hal pemilihan Presiden, partai-partai bisa jadi hanya sekedar “perantara” dari kepentingan yang lebih besar, kecuali jika kita menganut sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, partai-partai punya pengaruh sangat besar dalam pemilihan kepala pemerintahan. Fakta bahwa yang berkepentingan dengan Pemilu tak semata-mata partai politik membuat kita yakin bahwa independensi KPU tak bisa direduksi hanya semata-mata karena pengaruh partai politik. Independensi KPU bukan persoalan yang sederhana karena menyangkut kepentingan seluruh komponen bangsa yang ada di republik ini.
Berdasar pengalaman terdahulu Pemilu bisa karut marut disebabkan absennya ketiga hal (profesionalitas, kejujuran, dan keadilan), dan yang bisa terjamin jika adanya sikap Independen dari penyelenggara pemilu KPU sampai jajaran terdepannya (PPK-PPS). Profesionalisme dalam hal ini ada dua kategori, yang bersifat teknis dan non-teknis. Yang teknis berkaitan langsung dengan detail juklak dan juknis penyelenggaraan Pemilu, sedangkan yang non-teknis menyangkut penanganan masalah-masalah sosial yang secara langsung berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu. Kejujuran adalah sebuah sikap yang paling sulit dilakukan tapi mau tidak mau harus diterapkan oleh penyelenggara pemilu, bersikap terbuka dan selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan/kebijakan yang diambil. Keadilan sebagai sikap yang harus dijunjung karena memperlakukan sama semua peserta pemilu, tidak ada pilih kasih atau diskriminasi, baik menyangkut pelayanan maupun penyampaian informasi.
Undang-undang bukanlah kitab suci yang tidak boleh diganggu-gugat. Itu sebabnya, langkah Mahkamah Konstitusi mengoreksi Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum tak bisa disalahkan. Apalagi tujuannya amat bagus, yakni menjaga independensi Komisi Penyelenggara Pemilu. Putusan MK memang sering dikritik karena cenderung membuat aturan baru. Begitu pula kali ini. Tapi langkah ini mesti dilihat sebagai upaya menyelamatkan demokrasi sesuai dengan semangat konstitusi. Soalnya, aturan dalam UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu cenderung menabrak prinsip demokrasi. Aturan mengenai syarat calon anggota KPU itu dituangkan dalam Pasal 11 huruf i dan pasal 85 huruf i. Intinya, setiap kader partai politik boleh mendaftar menjadi komisioner di KPU asalkan mengundurkan diri dari partai.
Bisa dibayangkan, betapa kacaunya komisi ini bila para politikus masuk ke sana. Lembaga ini akan menjadi ajang pertarungan antarpartai. Independensinya bakal dipertanyakan. Itu sebabnya, MK mengoreksi aturan tersebut. Dua pasal mengenai syarat calon anggota KPU itu tetap diberlakukan sepanjang dimaknai dengan pengertian baru. Seorang calon anggota KPU harus mengundurkan diri dari partai politik minimal lima tahun sebelum mendaftarkan diri. Penyempurnaan pasal itu dilakukan setelah Mahkamah menerima permohonan uji materi dari sederet lembaga swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini amat peduli terhadap penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis. Keadaan yang ideal sulit dicapai bila orang-orang partai dibiarkan masuk ke KPU.
Kalangan partai politik yang sejak semula ingin masuk ke KPU tentu sulit menerima putusan itu. Di antara mereka bahkan secara tak etis menyerang Ketua MK Mahfud Md. dengan mengatakan ia punya agenda politik dengan putusan tersebut. Mereka juga beralasan, tidak adanya wakil partai di KPU akan membuat mereka gampang dicurangi, ditelikung. Dalih itu sungguh janggal. Cara berpikir mereka negatif, penuh syak wasangka. Bagaimana mereka bisa menilai anggota baru KPU yang akan dipilih akan melakukan kecurangan? Kalau memang tidak ingin ditelikung, pilihlah anggota Komisi yang bersih. Bukankah DPR juga akan menyaring para calon komisioner? Lagi pula, “menitipkan” orang ke komisi ini hanya menguntungkan partai-partai besar. Anggota KPU hanya enam orang, plus seorang ketua. Padahal partai politik jumlahnya berkali lipat. Kalau orang partai diperbolehkan masuk, bisa dipastikan mereka hanyalah orang-orang dari partai besar. Partai kecil dan baru tak memiliki “wakil”.
Sebetulnya masih ada bolong, kendati undang-undang pemilu telah dikoreksi MK. Partai-partai masih mungkin “merayu” anggota KPU yang sedang bertugas agar memberi keuntungan kepada mereka. Imbalannya boleh jadi jabatan di partai itu begitu pemilu selesai. Maka sebetulnya harus diatur pula bahwa seorang bekas anggota KPU tidak boleh menjadi pengurus partai. Aturan seperti itu akan membuat KPU semakin terbebas dari intervensi kepentingan partai politik. Meski begitu, putusan MK tetaplah sebuah kemajuan, hal yang semestinya disokong pula oleh partai-partai jika mereka benar-benar menginginkan pemilu yang bersih dan adil, Putusan MK ini positif, memberikan kepastian tentang makna independensi penyelenggara pemilu.
Orang boleh saja tidak percaya pada kredibilitas partai politik (parpol).Namun, hal itu tidak boleh terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Yang terpenting dari independensi KPU adalah dari aspek kelembagaan. Independensi KPU secara kelembagaan berarti seluruh infrastruktur dan staf yang ada di KPU, termasuk perangkat lunak (teknologi informasi/IT) yang digunakan, harus bisa difungsikan untuk kepentingan semua partai politik peserta Pemilu, tidak ada prioritas untuk partai A, B, atau C. Pemerintah, atau kekuatan mana pun tidak boleh melakukan intervensi yang membuat KPU berlaku tidak adil. Sekali KPU membuat kesalahan fatal dan mengakibatkan masyarakat tidak percaya pada hasil kerjanya, maka produk berupa legalitas wakil rakyat dan pemerintah juga akan dipertanyakan masyarakat. Begitu pun jika KPUD tidak lagi kredibel, kita khawatir bahwa produknya juga diragukan masyarakat. Jika terjadi demikian, hal itu akan merobohkan demokrasi dan wibawa pemerintah.
Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah HALOKPU Edisi I, Maret 2012