Ijinkan Kami Membayar Hutang kepada Rakyat

Oleh:
Purnomo Satriyo Pringgodigdo
(Divisi Hukum KPU Surabaya)
Kalimat itulah yang saya utarakan kepada salah seorang staf ketika itu. Kalimat tersebut, mau tidak mau harus diakui memang terdengar sangat retoris, bahkan yang mendengarkan pun tanpa sadar sedikit mengernyitkan salah satu matanya seakan akan menegaskan sifat retoris dari kalimat tersebut, atau setidak – tidaknya terdengar sebagai bualan yang saya ucapkan kepada dirinya. Tapi percaya atau tidak, hutang itu ada.
Mengapa rakyat ? Hal ini dapat dilihat dari bagaimana komposisi anggaran kita. Sebagai salah satu contohnya adalah APBN tahun 2016 kemarin. Berdasarkan situs dari Kementerian Keuangan maka anggaran pendapatan negara ketika itu sebesar 1.822,5 Triliun Rupiah, yang mana 84,9% atau sejumlah 1.546,7 Triliun Rupiah berasal dari penerimaan perpajakan.[1] Dari sisi realisasinya, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa di tahun 2016 realisasi penerimaan perpajakan sebesar 1.539,2 Triliun Rupiah.[2] Dari angka tersebut, 55,6%-nya, atau 855,842 Triliun Rupiah berasal dari Pajak Penghasilan.[3] Realitas ini menunjukkan bagaimana signifikannya pajak yang diperoleh dari penghasilan rakyat untuk membiayai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk uang kehormatan yang setiap bulan diterima oleh kami, Komisioner KPU Kabupaten/Kota.
Realitas lain bahwa rakyat menjadi argumentasi utama dapat dilihat mengapa Kami harus bekerja secara maksimal, atau bahasa undang – undang adalah penuh waktu dapat dilihat dari bagaimana penganggaran terhadap belanja pegawai diatur di dalam APBN. Untuk tahun 2016 saja, belanja pegawai untuk Non K/L ‘hanya’ sebesar 139,3 Triliun Rupiah[4], dan jikalaupun ditambahkan dengan belanja pegawai untuk K/L yang sebesar 208,2 Triliun Rupiah[5] maka kita akan dapat melihat bahwa pembiayaan terhadap kedua hal ini dapat ditutupi hanya dari pajak penghasilan, yang realisasi penerimaannya mencapai 855,842 Triliun Rupiah. Realitas ini secara spesifik menunjukkan bahwa belanja pegawai, termasuk di dalamnya adalah Uang Kehormatankami, Komisioner KPU Kabupaten/Kota diambilkan dari pajak yang dibayarkan oleh penghasilan rakyat Indonesia.
Mengapa hutang ? Sebagai Komisioner di tingkat Kabupaten/Kota, kami memulai hutang kami sejak kami dilantik yaitu pada bulan Juni 2014. Pada tanggal 2 Februari 2016, Presiden RI menetapkan Peraturan Presiden nomor 11 tahun 2016 tentang Kedudukan Keuangan Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Ketika itu, ditetapkanlah Uang kehormatan kami, sebagai anggota sebesar Rp. 11.573.000,00.[6]
Uang Kehormatan di atas merupakan kompensasi rakyat Indonesia, yang dalam hal ini dilakukan melalui Pemerintah atas pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban yang kami miliki. Hal ini secara sederhana dapat dibagi berdasarkan jumlah hari kerja, sebagaimana selayaknya seorang aparat sipil negara bertugas atau kurang lebih 20 hari setiap bulannya. Berdasarkan Uang Kehormatan yang kami terima di atas, dan dengan perhitungan hari kerja yang ada maka kami dibayar oleh rakyat Indonesia sebesar Rp. 526.045,45 setiap harinya,, atau Rp. 65.755,00 setiap jam kerja di hari kerja tersebut.
Walaupun sekilas tampak kecil, akan tetapi kami bersyukur karena dengan komitmen sepenuh waktu kami maka Uang Kehormatan itulah yang menjadi andalan kami, serta keluarga kami untuk hidup sehari – hari. Bukan hanya itu saja, walaupun tidak mungkin disandingkan dengan teman – teman kami yang menggunakan dasar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) akan tetap bila hal itu dilakukan, dan dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten Karawang yang mencapai 3,6 juta per bulan maka wajarlah kalau kami memang diminta untuk bekerja sepenuh waktu, serta semaksimal mungkin dan itu untuk rakyat Indonesia, atau setidak – tidaknya rakyat dimana kami diberikan amanah untuk bertugas.
Kata ‘hutang’ sendiri muncul ketika kami, baik ternyata tidak mampu untuk menjalankan apa yang menjadi tugas, wewenang, bahkan kewajiban kami, atau setidak – tidaknya komitmen yang dimandatkan oleh peraturan perundang – undangan untuk bekerja penuh waktu. Komisi Pemilihan Umum, atau pimpinan kami mengeluarkan surat nomor 1999/KPU/XII/2014 perihal Penetapan Hari Kerja dan Jam Kerja. Di dalam surat itu, ditegaskan kembali ketentuan 5 (Lima) hari kerja, yaitu Senin sampai dengan Jum’at dengan Jak Kerja yang berbeda untuk Senin sampai dengan Kamis, dengan Jum;at. Secara matematika, jika kami tidak bekerja 1 (Satu) hari maka kami berhutang kepada rakyat Indonesia sebesar Rp. 526.045,45 setiap harinya, atau jika kami bekerja setidak – tidaknya sesuai dengan pengaturan jam kerja tersebut, maka kami berhutang sebesar Rp. 65.755,00 setiap jamnya.
Hutang, atau setidak – tidaknya yang kami yakini adalah sesuatu yang akan ditagih bahkan ketika kami meninggal nanti. Dari Muhammad bin Jahsy radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Pada suatu hari, kami duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. sedang menguburkan jenazah. Beliau menengadahkan kepalanya ke langit kemudian menepukkan dahi beliau dengan telapak tangan seraya bersabda “Subhanallaah, betapa berat ancaman yang diturunkan.” (Ketika itu) Kami diam saja namun sesungguhnya kami terkejut. Keesokan harinya aku bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Ancaman berat apakah yang turun?” Beliau menjawab, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh fii sabiilillaah kemudian dihidupkan kembali kemudian terbunuh kemudian dihidupkan kembali kemudian terbunuh sementara ia mempunyai utang, maka ia tidak akan masuk surga hingga ia melunasi utangnya.’” (HR. An-Nasa’i, Ahmad).[7] Namun demikian, Allah SWT, Tuhan kami adalah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terutama ketika Rasulullah Muhammad SAW mengatakan bahwa “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia” (Riwayat Ibnu Majah. Syekh Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih kecuali kalimat “fid dunya”-di dunia-)[8]
Dengan realitas – realitas di atas, maka hutang itu ada bila kami tidak menjalankan apa yang menjadi tugas, wewenang, bahkan kewajiban kami, atau minimal komitmen yang dimandatkan oleh peraturan perundang – undangan untuk bekerja penuh waktu dan akan ditagih ketika kami meninggal nanti sehingga ijinkan kami setidak – tidaknya untuk menunjukkan niat kami untuk membayar hutang kami kepada rakyat Indonesia.
[1]http://www.kemenkeu.go.id/en/node/47651
[2]https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1286
[3] ibid
[4] Informasi APBN 2016, Direktoran Penyusunan APBN yang dapat diunduh di http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/publikasi/BIB2016.pdf
[5] ibid
[6] Pasal 4 ayat (3) huruf b Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 2016 tentang Kedudukan Keuangan Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
[7]http://www.ummi-online.com/jangan-mudah-berutang-tahukah-bahwa-jiwa-seorang-mukmin-terkatung-katung-sampai-utangnya-dilunasi.html
[8]http://majalahsakinah.com/2011/06/timbang-timbang-sebelum-berhutang/