FGD Bahas Pencegahan Kekerasan Dalam Pilkada

Hupmas, Surabaya – Tim peneliti Universitas Bhayangkara Surabaya mengadakan Focus Group Discussion (FGD), Senin (18/07/2016) di Ruang Jenggolo Inna Simpang Hotel Surabaya. Tim Peneliti dari Universitas Bhayangkara Surabaya yang terdiri dari Dra. Ratna Setyarahajoe, M.Si (Ketua), Dra. Tri Prasetijowati, M.Si (Anggota) dan Jamil, SH, MH (Anggota) menggali dan meneliti “Pengembangan Model Komunikasi Politik Guna Meminimalisir Terjadinya Konflik Anarkis Dalam Pilkada.”
FGD menghadirkan narasumber Prof. Dr Ramlan Surbakti (Guru Besar Politik Universitas Airlangga). Hadir pula Ketua KPU Surabaya, Robiyan Arifin. Peserta lain yang turut hadir sebagai peserta adalah Wahyu Haryadi (Mantan Ketua Panwas Kota Surabaya), Agung Nugroho (Ketua Tim Kampanye Rasiyo-Lucy), Didik Prasetiyono (Anggota Tim Pemenangan Risma-Whisnu), Ayuhannafiq (Ketua KPU Kabupaten Mojokerto), Miskanto (Mantan Ketua Panwas Kabupaten Mojokerto) dan Anggota Tim Sukses Pasangan Calon Bupati Mustofa Kamal Pasa (Kabupaten Mojokerto).
Prof. Ramelan selaku narasumber dalam FGD tersebut di awal paparan mengkritik tajuk FGD tentang Konflik Anarkis. “Dalam Ilmu politik tidak dikenal istilah konflik anarkis, namun istilahnya adalah Violence Election,” ujar Prof Ramelan.
Dalam paparan selanjutnya, Prof Ramelan menjelaskan tentang prinsip-prinsip Pemilu demokratis (Luber Jurdil) yang mana harus memenuhi prasyarat, yaitu: 1). Regulasi pemilu yang baik dan tidak multitafsir sehingga KPU hanya membuat peraturan teknisnya saja sebagai penjabaran dari UU yang dipakai dalam kepemiluan (terutama Pilkada) 2). Penyelenggara pemilu harus berintegritas 3). Perlu adanya tata kelola pemilu yang demokratis (ini berarti terkait dengan semua aspek tahapan dalam pemilu) 4). Adanya penegakan hukum pemilu (law enforcement).
Prof Ramelan menambahkan, untuk meningkatkan animo dan antusias masyarakat terhadap Pilkada, hendaknya para penyelenggara pemilu harus menciptakan Demam Pilkada. “Iklan Pemilu 2004 Inga’ Inga’ itu adalah contoh bagaimana iklan mengena di masyarakat, sehingga masyarakat antusias berpartisipasi dalam Pemilu saat itu,” tambah Prof Ramelan.
Pilkada serentak 2015 pun memiliki catatan tersendiri dalam hal munculnya kekerasan pada saat pelaksanaannya. Hal tersebut juga menjadi pokok pembahasan yang menarik dalam FGD tersebut. Kenapa dalam Pilkada lebih banyak terjadi kekerasan dibanding pada saat Pilpres? Menurut Prof Ramelan hal tersebut terjadi karena dalam pelaksanaan Pilkada ada kedekatan emosional antara kontestan Pilkada dengan rakyat. Ada faktor kekeluargaan, etnik, suku dan agama dalam pelaksanaan Pilkada itu sendiri, terutama di luar Pulau Jawa bahkan persaingan bukan hanya karena masalah memperebutkan jabatan tapi lebih ke harga diri dari suatu suku misalnya. “Dan yang menjadi korban kekerasan dalam pilkada adalah pemilih itu sendiri, para kontestan, para penyelenggara dan juga Organisasi Masyarakat Sipil,” imbuh Guru Besar Politik Universitas Airlangga tersebut.
Untuk meminimalisir konflik dalam Pilkada, KPU harus memiliki kebijakan media, sehingga tidak ikut dalam genderang yang ditabuh oleh media mainstream dan KPU bisa meng-counter tuduhan dari pihak luar yang ditujukan ke KPU. “KPU untuk itu harus responsive karena itu merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas sebagai penyelenggara,” pungkas Prof Ramelan.