E-KTP Sebagai Jaring Pengaman Pemilih dalam Pemilu, Mungkinkah?

Oleh: Anieq Fardah*
Mendekati Pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2017 mendatang, KPU sebagai penyelenggara Pemilu dihadapkan pada persoalan data pemutakhiran pemilih yang tidak sepele. Pasal 57 undang-undang No.10 tahun 2016 tentang pemilukada serentak menyebutkan bahwa untuk dapat menggunakan hak pilih, warga negara harus terdaftar sebagai pemilih, dan pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa, apabila warga negara yang berhak memilih tidak terdaftar dalam voter list (daftar pemilih), yang bersangkutan dapat menunjukkan E-KTP pada hari pemungutan suara. Sebagai alat bukti kewarganegaraan dan kepemilikan hak pilih, E-KTP menjadi alat politik warga negara dalam mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih. Aturan tentang pemutakhiran daftar pemilih haruslah memperhatikan banyak aspek tentang definisi kewarganegaraan dan kependudukan yang luas dan mendalam, sehingga hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu memiliki dasar hukum dan pertimbangan sosial yang luas dan mencakup semua etnis dan suku bangsa yang ada di Indonesia.
Tulisan ini akan berdiskusi tentang potensi keuntungan dan kerugian terhadap persoalan wajibnya E-KTP dalam perundangan Pemilu kepala daerah, dan proses pendaftaran pemilih, Siapa yang sebenarnya bertanggungjawab atas akurasi daftar pemilih dan keabsahan E-KTP sebagai identitas kewargaan yang berfungsi sebagai alat Eligibilitas warga negara dalam pemilu? Bagaimana negara menilai dan menggunakan konsep kewarganegaraan dalam proses perekaman E-KTP yang wajib. Serta bagaimana KPU menindaklanjuti ancaman untuk tingginya kemungkinan Absentee Voter akibat irisan dari himpunan pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan tidak pula memiliki E-KTP?
Isu penggunaan E-KTP dalam pemilu berfungsi sebagai jaring pengaman pemilih, artinya jika dalam kasus-kasus tertentu pemilih, tidak dapat menyalurkan hak pilihnya karena tidak mendapatkan undangan memilih, atau tidak terdaftar dalam DPT, E-KTP menjadi solusi yang dapat melindungi hak pilih warga negara. Meski tampak menjanjikan, E-KTP dapat menjadi bumerang bagi penyelenggara pemilu apabila tidak dicermati secara mendalam. Beberapa kasus penyalahgunaan E-KTP yang tercatat di media diantaranya, Pemalsuan E-KTP[1] meski jumlah yang ditumukan belum signifikan, tetapi temuan ini dapat melukai integritas penyelenggaraan pemilu, malprakten yang akan rawan terjadi diantaranya, pemilih yang melakukan coblos ganda, dan mobilisasi penduduk untuk memilih pada hari H, satu jam sebelum TPS ditutup. Pada Pilkada DKI yang berlangsung saat ini misalnya, sebanyak 34.147 dari 155.001 orang di Jakarta selatan belum bisa didaftar karena belum melakukan perekaman E-KTP, di Jakarta Utara ada 60.766 orang belum masuk ke daftar pemilih sementara (DPS) karena masih memiliki E-KTP. Tangerang selatan, diketahui 102.681 orang belum memiliki E-KTP yang berakibat pada tidak terakamnya data tersebut sebagai pemilih dalam DPS[2]
Proses pendaftaran pemilih pemilu di Indonesia mengalami Evolusi. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, pendaftaran pemilih adalah satu tahapan esensial, yang menentukan apakah sebuah pemilu tersebut di golongkan sebagai pemilu yang demokratis atau tidak. Dalam parameter pemilu demokratis yang di tulis berdasarkan konvenan internasional menyebutkan bahwa semua tahapan pemilu harus berdasarkan undang-undang yang mengacu pada sistem hukum nasional[3], Pendaftaran pemilih adalah salah satu tahapan pemilu yang diatur secara nasional dan sebesar-besarnya mengakomodasi semua pemilih yang berhak memilih (Eligible Voter). Standar terlaksananya pemutakhiran daftar pemilih yag baik ada dua yaitu; (1) aspek kualitas demokrasi dan (2) Standar kemanfaatan teknis[4].
Sebagai negara yang menerapkan pemilu—baik di tingkat lokal maupun nasional dalam proses sirkulasi kepemimpinan, penyelenggara pemilu dihadapkan pada persoalan integritas dan keadilan bagi warga negara yang berhak memilih. Dalam banyak kasus di temukan banyak warga negara yang bahkan tidak memiliki identitas kependudukan, Memiliki KTP ganda, dan tidak melakukan update identitas dalam proses pemutakhiran pemilih. Pada masa orde baru terdapat pemilu, dan berbagai tahapan pemilu yang di atur sedemikian rupa sehingga hasil pemilu sudah dapat di prediksi bahkan jauh sebelum pemilu berlangsung, dunia internasional tidak menganggap pemilu tersebut sebagai pemilu yang dilaksanakan secara demokratis. Beberapa catatan atas pelanggaran dalam pemutakhiran data pemilih banyak terjadi dalam pemilu orde baru misalnya, (1) pendaftaran pemilih yang hanya berbasis pada pendukung partai tertentu, (2) Pendaftaran Pemilih yang Eksklusif, (3) pendaftaran pemilih yang Manipulatif. Tentunya pelanggaran tersebut tidak serta merta berhanti pada saat orde baru telah mencapai akhir masanya. Pasca orde baru juga ditemukan banyak sekali proses-proses pendaftaran pemilih yang menipulatif, yang mencoreng integritas penyelenggara pemilu. Beberapa contoh pelanggaran pendaftaran pemilih tersebut;[5] misalnya a. Pendaftaran Pemilih dilaksanakan di rumah petugas pendaftar, b. Petugas mendaftar pemilih yang tidak memenuhi syarat pemilih, c. Petugas sengaja tidak mendatangi kelompok/pemilih tertentu, d. Petugas hanya mendaftar simpatisan Partai Politik tertentu, e. Petugas mendaftar pemilih lebih dari satu kali, dst.
Prinsip-Prinsip global yang mendasari pendaftaran pemilih dan pendaftaran sipil adalah payung dari bagaimana seharusnya Pemerintah dan KPU bersikap terhadap isu ini. Dalam buku publikasi IFES “Civil and Voter Registries: Lesson Learned From Global Experience” (Yard, 2011) disebutkan bahwa turunan dari prinsip “Umum” (Universal) dan “Setara”(Equal Sufferage) adalah a. Intergitas, artinya Proses Pendaftaran Pemilih dan Sipil harus berasaskan keadilan, kejujuran, dan sungguh-sungguh. b. Inklusif. Prinsip ini menjelaskan, bahwa setiap individu yang telah masuk kriteria menjadi pemilih dan masuk kriteria mendapatkan identitas kependudukan, harus terpenuhi haknya tanpa terkecuali. c. Komprehensif, artinya setiap orang di seluruh pelosok negeri, termasuk kelompok rentan, masyarakat marjinal, penduduk dengan disabilitas, penduduk sebagai pemilih pemula, dan penduduk dengan pola hidup berpindah, harus terdaftar dalam sistem d. Akurasi, prinsip ini menjadi tolak ukur dari ketepatan petugas pemutakhiran dan pendaftaran pada saat melaksanakan tugasnya. Beberapa data yang diperlukan dalam daftar pemilih ber irisan dengan data yang ada dalam sistem kependudukan. Itulah sebabnya untuk mendapatkan data pemilih yang akurat, harus dimulai dengan data sumber dari pendaftaran sipil dengan standar akurasi baku. Petugas pendaftar atau Petugas pelayanan untuk pendaftaran sispil, harus dibekali pola pikir pelayanan prima dan kemampuan teknis yang terstandar. e. Akesibilitas, setiap warga negara yang berhak memilih atau mendapatkan kartu identitas, harus dengan mudah medapat dan mengakses informasi publik ini.
Hak Memilih dan Hak untuk memiliki identitas yang legal, adalah hak asazi yang wajib di penuhi oleh negara. Hak-hak kewargaan ini secara khusus menjadi kepentingan dan sekaligus tanggungjawab lembaga KPU sebagai penyelenggara pemilu, dan Dinas Kependudukan di bawah kementrian dalam negeri. Undang-undang Pilkada no. 10 tahun 2016 pasal 57 tentang Penggunaan E-KTP sebagai jaring pengaman pemilih, harus di cermati sebagai dasar hukum melindungi hak kewargaan, sekaligus sebagai alat koreksi bagi pemerintah untuk menyegerakan pelayanan E-KTP dan menghapuskan segala tantangan yang memberatkan warga negara untuk mendapatkannya.
Anieq Fardah
* Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Politik Konsentrasi Tata Kelola Pemilu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
[1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/08/26/ochnnz-warga-masih-banyak-memakai-ektp-palsu
[2] http://print.kompas.com/baca/regional/metropolitan/2016/11/02/Ratusan-Ribu-Warga-Belum-Terdaftar
[3] Standar-standar Internasional Untuk Pemilu
[4] ACE-Electoral Knowledge Network, “Quality Standart of Voter List”
[5] Aribowo, Pemilu 1999; Transisi dan negara lemah, dalam buku Model-Model Sistem pemilihan di Indonesia, Pusdeham, Surabaya, 1999