DUA PEMILU SERENTAK: NASIONAL DAN DAERAH.

SURABAYA-Dinginnya cuaca Kota Surabaya di penghujung bulan Mei tidak terasa di Hotel Santika Gubeng kemarin pagi (Selasa, 31 Mei). Seminar Kodifikasi Undang-Undang Pemilu yang dimulai pukul 10.00 WIB itu dirasa cukup hangat dengan padatnya pemaparan oleh para narasumber juga tanggapan dari peserta. Dibuka dengan materi tentang Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemilu oleh Masykurudin Hafidz (Koordinator Nasional JPPR), kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Proses dan Hasil Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah oleh Khoirunnisa Agustyati (Deputi Direktur Perludem), dan ditutup dengan materi pamungkas terkait kepemiluan oleh Prof. Dr Ramlan Surbakti (Guru Besar Politik Universitas Airlangga), seminar dengan pembahasan yang mendalam ini diharapkan dapat membawa angin perubahan bagi sistem pemilu yang lebih baik di Indonesia. Pokok bahasan pada seminar yang diformulasi oleh Sekretariat Kodifikasi UU Pemilu ini adalah pelaksanaan 2 kali pemilu serentak, yaitu Pemilu Nasional Serentak (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bersama Pemilu Anggota DPR dan DPD) dan Pemilu Daerah Serentak (Pemilu Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah bersama Pemilu Anggota DPRD) yang masing-masing berinterval 2,5 tahun.
Cara pandang yang berbeda terhadap kepemiluan coba dihadirkan Ramlan Surbakti. Di awal paparan, pria yang pernah menjadi komisioner KPU RI di awal masa reformasi itu menyampaikan beberapa sistem pemilu di luar negeri, seperti Korea Utara dan beberapa negara di Amerika Latin. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Ramlan, ketentuan yang terangkum dalam pasal-pasal pada Undang-Undang Pemilu sebagai landasan pelaksanaan pemilu di Indonesia dirasa cukup bervariasi, mulai ketentuan yang kontrakduktif antar Undang-Undang satu dengan yang lain, hingga ketentuan yang tidak bisa dijalankan oleh penyelenggara pemilu, antara lain persyaratan dalam rekrutmen anggota KPPS (petugas di TPS, red) yang mewajibkan para calon anggota KPPS untuk menyerahkan surat keterangan sehat jasmani rohani dan surat keterangan tidak pernah melakukan tindak pidana. Padahal untuk mengurus surat keterangan tersebut diperlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan kata Ramlan tidak jarang biaya pengurusan surat keterangan tersebut lebih tinggi daripada honor menjadi anggota KPPS. Untuk kebaikan bersama, KPU RI pun menyiasatinya dengan menerbitkan ketentuan teknis bahwa surat keterangan cukup dikeluarkan oleh desa (puskesmas, red) setempat. “Masak syarat untuk menjadi anggota KPU disamakan dengan anggota KPPS?”, kata Ramlan.
Kenapa kodifikasi Undang-Undang Pemilu perlu menjadi perhatian? Karena pemilu harus dilaksanakan secara demokratis dan ada kepastian hukum, serta dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif. Parameter pemerintahan yang efektif adalah menghasilkan kebijakan presiden dan kepala daerah yang sesuai kehendak rakyat dan implementasi dari kebijakan tersebut bisa dinikmati oleh rakyat. Kebijakan yang bagus oleh presiden dan kepala daerah pun tidak dapat berdiri sendiri, karena tetap harus didukung oleh administrasi yang bagus oleh birokrat juga kualitas tinggi dari para political appointees. Selain itu juga perlu ada evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan di setiap kurun waktu tertentu. “Sebaik apapun regulasi dan perencanaan, (hasilnya) tidak akan maksimal jika pelaksanaannya tidak (dilakukan secara) maksimal”, pungkas Ramlan.